“What you want? A Bentley? Fur coat? A diamond chain? All you blacks want all the same things” – Kanye West, penyanyi rap asal Amerika Serikat
PinterPolitik.com
Kunjungan oleh kepala negara dan kepala pemerintah dari negara lain ke Indonesia merupakan hal yang lumrah dan biasa dilakukan dalam hubungan antarnegara. Diplomasi seperti ini biasa dilakukan guna meningkatkan hubungan baik dan kerja sama antarnegara.
Namun, kunjungan Raja Willem-Alexander Claus George Ferdinand dan Ratu Máxima Zorreguieta Cerruti dari Belanda ke Indonesia bisa jadi merupakan kunjungan spesial. Pasalnya, semenjak menjadi Raja pada tahun 2013, ini merupakan kunjungan pertama pasangan kerajaan ke Indonesia.
Uniknya lagi nih, kunjungan ini juga disertai dengan permintaan maaf dari Raja Willem-Alexander kepada masyarakat dan pemerintah Indonesia terkait agresi militer yang melibatkan kekerasan setelah kemerdekaan diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Penyesalan tersebut disampaikan oleh beliau di hadapan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hmm, ucapan maaf seperti ini bisa jadi permohonan maaf yang pertama setelah Indonesia merdeka nih. Pasalnya, Ratu Beatrix Wilhemina Armgard yang sempat berkunjung pada tahun 1995 silam ‘gagal’ mengucapkan permohonan maaf serupa.
Meski begitu, sepertinya nggak semua pihak puas nih dengan permintaan maaf dari Raja Willem-Alexander. Selain hanya membicarakan soal kekerasan pasca-Proklamasi, permohonan maaf tersebut dinilai perlu disertai juga dengan kompensasi tuh.
“Terlalu lambat permohonan maafnya,” ujar Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera. Maka dari itu, Pak Mardani menyarankan bahwa Belanda juga perlu memikirkan pemberlakukan kompensasi untuk Indonesia, yakni berupa dana abadi (endowment fund).
Bagaikan peribahasa bahasa Jawa, Pak Mardani ini dikei ati ngrogoh rempela yang artinya “dikasih hati malah meminta jantung.” Padahal, udah dikasih hal yang bagus tetapi masih meminta lebih.
Ya, memang sih reparasi berupa kompensasi kerap digunakan sebagai bagian dari permintaan maaf negara eks-penjajah. Namun, usulan kompensasi bisa aja nggak pas tuh dengan apa yang diperlukan Indonesia sekarang.
Soalnya tuh, beberapa akademisi dan peneliti menilai kalau reparasi kolonial bukanlah jawaban sebenarnya. Bahkan, beberapa ahli di negara lain bilang kalau reparasi dalam bentuk bantuan finansial bisa menjadi bentuk penjajahan baru melalui pengaruh dan kekuatan ekonomi, yakni neo-kolonialisme.
Wah, sah-sah saja sih kalau menuntut bantuan dana semacam itu. Tapi, masa iya Pak Mardani ingin Indonesia terperangkap dalam neo-kolonialisme Belanda (lagi)? Ya, jangan sampai lah Indonesia bergantung lagi pada negara eks-penjajahnya. (A43)
► Ingin lihat video-video menarik? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.