“Pertalite naik orang-orang pindah ke Revvo. Mau salahkan pemerintah? Bilang aja gara-gara lu sih jadi orang ke Revvo. Jika di balik, lu sih Revvo bisa jadi Revvo-lu-si(h)” – Fakhruddin Muchtar, Direktur Pusat Kajian Pancasila Universitas Jakarta (Pusaka Pancasila Unija)
Peristiwa unik muncul setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pertalite dan solar.
Sontak para pengendara ramai-ramai berdatangan ke berbagai SPBU swasta, seperti Vivo. Mereka akhirnya banting setir memilih Revvo 89 yang dibandrol dengan harga Rp8.900 per liter, lebih murah dibanding Pertalite yang harganya kini mencapai Rp10.00 per liter.
Merespons hal tersebut, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengisyaratkan kalau Vivo juga akan menyesuaikan harga BBM murah mereka, sesuai yang dilakukan Pertamina.
Betul saja, BBM Revvo 89 milik Vivo yang diborong itu langsung dikabarkan hilang dari pasaran. Tidak lama kemudian, muncul dengan harga baru naik dari Rp8.900 menjadi Rp10.900.
Anyway, kenaikan itu hanya pada Revvo 89 loh. Sementara, Revvo 92 dan Revvo 95 harganya tetap. Masing-masing Rp15.400 dan Rp16.100 per liter.
Nah, apa yang diperlihatkan dari fenomena Revvo 89 yang hilang dan kemudian naik, merupakan sebuah fenomena pasar yang disebut dengan unintended consequences.
Dalam ilmu sosial, unintended consequences merupakan hasil dari tindakan yang tak ditujukan atau diperkirakan. Istilah ini dipopulerkan oleh sosiolog asal Amerika Serikat Robert K. Merton.
Merton menggunakan kata intended dan unintended untuk menunjukkan fungsi manifes dan laten. Sederhananya bisa disebut dengan “direncanakan” dan “tidak direncanakan”.
Pada konteks kenaikan BBM, pemerintah sebenarnya hanya berfokus pada kemungkinan yang akan terjadi jika produk Pertamina naik, tentu ini wajar karena Pertamina merupakan BUMN.
Tapi, rupanya kenaikan itu berdampak pada arus yang berbelok tajam ke Vivo, karena menyediakan BBM Revvo 89. Tentu pilihan masyarakat akan tertuju pada harga yang lebih murah, yaitu harga di bawah Pertamina.
Oh iya, selain berdampak secara domestik. Kenaikan BBM di Indonesia juga disoroti oleh beberapa media asing, seperti ABC News, The Strait Times, AL Arabiya, dan Channel News Asia.
Media asing menyoroti kenaikan BBM sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk mengendalikan subsidi yang membengkak, tapi tentunya kebijakan ini akan berisiko memunculkan protes massal.
Btw, jadi ingat perkataan teman. Kalau BBM naik selalu ada gerakan massa yang berteriak “Revolusi” sebagai jargon pergerakan.
Lalu, teman itu berkata, “lu sih (pemerintah) naikin Pertalite, sekarang kan orang pada ke Revvo. Eh, sekarang Revvo juga naik, tapi tenang, masyarakat tetap ke Revvo, tapi Revvo-lu-si.” Upps. Hehehe.
Teman itu bernama Fakhruddin Muchtar, Direktur Pusat Kajian Pancasila Universitas Jakarta (Pusaka Pancasila Unija). (I76)