Meski Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai NasDem telah usai, tapi tanya tentang hasil Rakernas masih membayangi pikiran publik. Apa sebenarnya strategi Ketua Umum Surya Paloh di balik Rakernas yang memunculkan tiga nama tersebut?
Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai NasDem yang digelar pada 15-17 Juni 2022, telah berakhir dengan menghasilkan beberapa nama hasil voting dari 34 pengurus Dewan Pimpinan Wilayah (DPW). Anies Baswedan menempati posisi pertama karena diusulkan oleh 32 DPW, lalu ada Ganjar Pranowo 29 DPW, Erick Thohir 16 DPW, Rachmat Gobel 14 DPW, dan Andika Perkasa 13 DPW.
Tapi sayangnya, forum tinggi partai ini tidak memutuskan satu nama calon presiden yang akan diusung di Pilpres 2024, melainkan tiga rekomendasi capres.
Jika dibandingkan dengan Rakernas yang juga pernah dilakukan oleh NasDem saat menjelang Pemilihan Presiden 2019, maka terlihat jelas berbeda. Meski saat itu Rakernas dilakukan pada 2017, tapi NasDem dengan bulat mendukung Joko Widodo (Jokowi).
Jika membandingkan Rakernas 2022 dengan Rakernas 2017, ini memunculkan pertanyaan, kenapa NasDem kali ini tidak langsung mendeklarasikan sosok secara bulat seperti pada 2017?
Gun Gun Heryanto dalam tulisannya Bandul Politik Partai NasDem, melihat NasDem sedang memainkan strategi game changer. Sebuah strategi yang menggambarkan subjek pemain dapat merubah situasi permainan karena mempunyai potensi-potensi yang unggul.
Keunggulan pertama dapat dilihat dari pengalaman di dua pemilu terakhir saat mengusung Jokowi sebagai capres. NasDem mempunyai pengalaman memenangkan calon dan juga mempertahankan kekuasaan hingga dua periode.
Pengalaman ini juga yang melatih NasDem untuk tidak ceroboh. Bisa dikatakan NasDem mengerti bahwa kondisi politik saat ini masih sangat cair. Dalam konstelasi politik yang cair ini, skema pengambilan keputusan kemudian dilakukan dengan model dua tahap.
Tahap pertama, melalui Rakernas yang akan menghasilkan banyak nama dan mengerucut menjadi hanya tiga nama. Lalu tahap kedua dilakukan dengan strategi Zone of Possible Agreement (ZOPA), yaitu menjadikan tiga nama yang tersaring sebelumnya sebagai alat pembuka ruang negosiasi dengan partai-partai lain.
Kemungkinan tahapan ini yang paling realistis untuk NasDem karena permasalahannya masih sama, yaitu lagi-lagi tentang ambang batas syarat mengusung capres 20 persen. Saat ini, NasDem hanya memiliki 9,05 persen suara atau 59 kursi DPR RI yang setara dengan 10,26 persen dari total anggota di DPR.
Tentunya, tahapan strategi yang dilakukan NasDem tidak lepas dari buah pikir Ketua Umum NasDem Surya Paloh. Sebagai orang yang telah lama hidup dalam dunia bisnis, Paloh sangat mengerti bagaimana cara meramu strategi pemasaran dalam persaingan bisnis.
Formulasi Paloh ini yang membuat ruang jelajah politik NasDem bisa lentur dan luwes mengingat masih tersedia sejumlah partai yang memungkinkan diajak koalisi. Di sinilah muncul kemungkinan bahwa NasDem mampu memunculkan poros koalisi selanjutnya.
Toh, NasDem kan tidak punya hambatan psikologis untuk bergabung dengan partai lain, semisal PDIP yang sulit berjumpa dengan Demokrat dan PKS, atau misalnya PKS yang rasanya mulai kapok untuk bangun kongsi bersama Gerindra.
Jadi, tiga nama yang dijaring oleh NasDem dalam Rakernas menjadi kunci permainan. Jika nama-nama itu nantinya mampu membuka peluang negosiasi, maka NasDem pada akhirnya mampu menjadi aktor pengubah permainan. Kita lihat saja kelanjutannya. (I76)