“Harta sejati adalah kesehatan, bukan emas dan perak” – Mahatma Gandhi, pejuang kemerdekaan India
Gengs, ada yang pencinta film-film garapan Bollywood? Kalau ada, pasti tahu kan film yang sempat digandrungi oleh anak-anak muda berjudul Gabbar is Back.
Film yang sukses diperankan oleh Akshay Kumar tersebut benar-benar dikemas keren banget dan mampu menarik minat generasi muda, terutama mahasiswa. Mimin kasih bukti kerennya film itu ya.
Suatu ketika, Aditya yang merupakan sosok yang sama di balik aksi Gabbar mengantar Shruti, seorang pengacara yang dekat sekali dengannya. Sesampainya di rumah sakit (RS), Gabbar menemukan praktik konyol yang dilakukan para dokter serta para staf, yakni memanipulasi dan menipu masyarakat yang berobat di sana.
Ada yang tertipu harga obat, tertipu manipulasi kematian, dan lain-lain. Aditya pun terketuk hatinya untuk membongkar praktik manipulatif demikian.
Nah, kebetulan di luar RS ada seorang wanita yang menangis karena suaminya meninggal. Aditya lantas menemui si wanita dan mengatakan bahwa ia akan mendapat asuransi dengan cara membawa jenazah suaminya ke RS bersangkutan.
Tetapi, setting-annya, si suami diposisikan seakan belum meninggal. Rencana ini berjalan mulus. Pihak RS yang terkenal manipulatif tersebut mengatakan bahwa si suami belum meninggal di ruang operasi meski sebenarnya si suami sudah meninggal lama sebelum dibawa ke RS.
Aditya pun menghardik pihak RS dengan mengatakan bahwa RS tersebut sangat manipulatif dan hendak memeras uang pasien. Sontak saja, pihak RS ketakutan dan memberi uang asuransi, daripada dilaporkan ke pihak berwenang. Keren bukan strategi Aditya alias Gabbar?
Nah, tampaknya pembongkaran dalam dunia kesehatan tersebut sedang dilakoni juga oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Berbeda dengan Gabbar, apa yang mau dibongkar sama ICW ini lebih kompleks, cuy, karena menyangkut tender pengadaan alat kesehatan (alkes).
Sebelumnya, pihak ICW sih menduga bahwa perusahaan-perusahaan yang memenangkan alkes tersebut banyak yang nggak kompeten dalam bidangnya. Misal nih, mana ada perusahaan yang biasanya ngurusin pembangunan jaringan dan kontraktor, PT Ziya Sunanda Indonesia, bisa lolos menjadi aktor yang bakal bertanggung jawab dalam pengadaan bahan reagen Covid-19.
Kata pihak ICW sih, seharusnya soal pemenangan tender di masa sulit dan darurat begini mbok ya mendahulukan perusahaan yang biasa mengurusnya. Jangan asal-asalan. Mimin paham kok bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dituntut bersinergi dengan pihak mana pun yang memiliki niatan baik untuk membantu kemudahan pengadaan alkes. Jadi, mungkin Kemenkes mempunyai pertimbangan tersendiri.
Ya, karena mimin orangnya positive thinking, maka pikir mimin sih jangan-jangan meski pemain baru, perusahaan yang belum pernah ngurusi tender alkes ini, menurut Kemenkes, lebih bagus dari pemenang tender sebelumnya.
Ya, bisa saja kan, cuy? Meski begitu juga pendapat ICW yang bilang perlu adanya tracking kompetensi dan tidak boleh main-main di tengah kondisi pandemi juga layak dicermati sih.
Makanya, sebelum ada hal-hal yang nggak diinginkan, mending Kemenkes dan ICW duduk bareng deh biar nggak saling klaim dan curiga-curigaan gitu lho. Jadi, nanti sekaligus bisa memutus rantai mafia alkes yang selama ini mengepung Indonesia. Hehe. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.