“Their actions do not represent us” – Orwell, Split (2016)
Bagi penggemar film bertema thriller, sebuah film yang berjudul Split (2016) mungkin sudah tidak asing lagi. Film yang dibintangi oleh James McAvoy ini bisa dibilang unik karena menceritakan satu individu yang memiliki banyak kepribadian dalam satu tubuh – biasa dikenal sebagai dissociative identity disorder (DID).
Kevin Wendell Crumb dikisahkan memiliki berbagai macam kepribadian yang secara bergantian mengambil the light dan menguasai tubuhnya. Kepribadian yang lebih dari satu ini membuat Crumb harus menjalankan sebuah terapi psikologis yang dipraktikkan oleh Dr. Karen Fletcher.
Namun, seiring berjalannya waktu, Crumb ternyata telah lama tidak menguasai gerak-gerik tubuhnya. Bahkan, terdapat sejumlah kepribadian yang menggunakan identitas Crumb dalam kehidupan sehari-hari, seperti Dennis, Barry, dan Patricia yang biasa disebut sebagai Horde.
Konflik pun memuncak ketika Fletcher dan Casey Cooke – seorang gadis yang diculik oleh Barry – berusaha mengembalikan Crumb untuk menguasai tubuhnya lagi. Namun, upaya itu terlihat percuma karena Barry dan Patricia telah mendominasi untuk mewakili Crumb di dunia nyata.
Mungkin, situasi konfliktual antara Barry, Patricia, Dennis, dan Crumb ini juga tengah terjadi di dunia nyata lho. Ini terlihat dari bagaimana Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko berusaha memberikan klarifikasi bahwa tidak semua pihak di pemerintahan berhak berbicara sebagai perwakilan Istana.
Kabarnya sih, Pak Moeldoko ini resah akibat persoalan yang timbul dari pemberian sepeda dari Daniel Mananta untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ramainya isu itu karena hadiah itu perlu dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Usut punya usut, Pak Jokowi sendiri ternyata tidak tahu lho perihal polemik pemberian hadiah tersebut. Polemik ini berawal dari ucapan salah seorang tenaga Kantor Staf Presiden (KSP).
Moeldoko yang terkejut akhirnya kalang kabut tuh. Alhasil, Pak Moeldoko bilang kalau hanya ada tiga orang yang perkataannya benar-benar mewakili Istana Kepresidenan, yakni Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) Pratikno, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung, dan Kepala KSP Moeldoko.
Hmm, pernyataan itu justru ditanggapi kembali oleh media dan publik dengan pertanyaan. Kalau ternyata hanya tiga orang itu yang menjadi corong utama Istana, lantas, bagaimana ya nasib Juru Bicara (Jubir) Presiden Fajdroel Rachman?
Kalau kaya Pak Fadjroel sih, emang benar kok apa yang dinyatakan Pak Moeldoko. Beliau menjawab bahwa dirinya hanya bertugas untuk menyampaikan arahan dari Pak Presiden Jokowi.
Wah, mungkin, Pak Moeldoko ini sekarang sedang membenahi kembali corong suara dari Istana ya? Apa mungkin beliau belajar dari kesalahan ya?
Kan, selama ini, banyak yang bilang kalau pejabat-pejabat pemerintah – seperti menteri-menteri – seakan-akan menciptakan kebisingan politik lho di publik. Maka dari itu, ada seorang politikus Demokrat yang bilang kalau publik juga perlu mewaspadai pernyataan dari sejumlah pejabat, seperti Pak Fadjroel, Ali Mochtar Ngabalin, dan Ruhut Sitompul.
Waduh, berarti selama ini, mereka-mereka ini saling bersuara itu sekaligus saling berebut corong apa ya? Mungkin, seperti kisah di film Split, banyaknya corong ini tengah berebut untuk mewakili pemerintahan Jokowi. Hehe.
Ya, terlepas dari itu, ada benarnya juga sih akhirnya Pak Moeldoko belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu yang akhirnya menciptakan banyak informasi simpang siur di publik. Apalagi nih, sekarang ini makin banyak tuh yang bilang kalau oposisi semakin kuat dengan kembalinya sejumlah aktor politik – entah siapa aja yang harus diwaspadai. Hehe. (A43)