“It’s heartbreak warfare. Once you want it to begin, no one really ever wins in heartbreak warfare” – John Mayer, penyanyi asal Amerika Serikat (AS)
Bagi kebanyakan orang, kompetisi mungkin memang sering kali menjadi momok dalam pengembangan diri. Bahkan, perasaan untuk menjadi kompetitif terkadang membuat sebagian merasa terpacu untuk melakukan berbagai hal guna mengalahkan sang lawan.
Perasaan-perasaan seperti ini bisa saja terjadi di banyak lingkup kehidupan lho. Di bangku sekolah, misalnya, persaingan untuk menduduki ranking terbaik di kelas tidak jarang juga terjadi. Tak hanya di dunia sekolah, situasi kompetitif juga biasa terjadi di dunia kerja lho.
Bila kompetisi saja bisa terjadi di lingkungan sekitar sendiri, tentu persaingan seperti ini juga bisa terjadi di tempat-tempat yang lebih besar dan melibatkan banyak pihak. Politik, contohnya, kerap diisi oleh persaingan untuk merebutkan sesuatu – seperti sumber. Ini bisa dilihat dari persaingan pemilihan umum (Pemilu) hingga proses pengambilan kebijakan.
Tidak hanya bersifat domestik, kompetisi antarnegara juga kerap terjadi lho. Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, misalnya, dulu bersaing sengit lho buat dapetin supremasi kekuatan di dunia.
Kisah-kisah persaingan seperti ini banyak ditemui di film-film Hollywood lho. Salah satunya adalah The Man from U.N.C.L.E. (2015) yang dibintangi oleh Henry Cavill dan Armie Hammer. Bahkan, ketika kedua negara bekerja sama, persaingan dan perebutan masih tetap mengisi lho.
Nah, situasi yang ada di film ini sepertinya juga tengah terjadi nih di antara dua pejabat di daerah Jawa Timur (Jatim), yakni Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma). Gimana nggak? Setelah sebelumnya kerap silang pendapat soal penanganan Covid-19, kini mereka berada di dua kubu yang berbeda lho dalam Pilkada Surabaya 2020.
Risma mendukung mantan bawahannya yang kini maju bersama PDIP, yakni Eri Cahyadi dan Armuji. Di sisi lain, sebuah kelompok yang mengklaim diri mereka sebagai Sahabat Khofifah menyatakan dukungan kepada calon pasangan lawan dari Eri-Armuji, yakni Machfud Arifin dan Mujiaman.
Wah, kalau begini caranya, persaingan Risma dan Khofifah ini sudah menyebar ke proxies dong – mirip dengan era Perang Dingin dulu ketika AS dan Uni Soviet punya negara-negara proxy seperti Vietnam Utara-Vietnam Selatan dan Korea Utara-Korea Selatan. Apa jangan-jangan Bu Risma dan Bu Khofifah ini juga sedang memperebutkan pengaruh ya di Pilkada Surabaya 2020 ini?
Pasalnya, Kota Pahlawan ini juga disebut-sebut memiliki posisi penting lho dalam panggung politik nasional. Kalau kata Ulla Fionna di tulisannya yang berjudul Investigating the Popularity of Surabaya’s Mayor Tri Rismaharini, Surabaya itu punya signifikansi secara historis – dengan rekam jejak pergerakan nasional seperti Hari Pahlawan serta tempat asal tokoh nasional seperti Soekarno dan H.O.S. Tjokroaminoto.
Belum lagi nih, Fionna turut bilang kalau ibu kota Jatim ini juga signifikan secara sosial dan ekonomi. Surabaya dinilai tumbuh jadi masyarakat urban ketika era Orde Baru. Selain itu, kota ini juga dianggap paling sedikit terdampak oleh Krisis Moneter 1998 – bila dibandingkan dengan Jakarta, Medan, dan Solo.
Wah, makanya, bukan nggak mungkin sih Risma dan Khofifah melihat Kota Surabaya sebagai “medan persaingan” yang penting. Apalagi, partai Bu Risma (baca: PDIP) juga punya sejarah panjang dan basis yang kuat di kota ini – setidaknya menurut Fiona. Mari kita tanyakan sajalah yak e Bu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Hehe. (A43)