“Wars and elections are both too big too small to metter in the long run. The daily work – that goes on, it adds up” – Barbara Kingsolver, penulis asal Amerika Serikat (AS)
Pernah dengar cerita saat ada negara yang habis dihajar oleh musuh, bukannya mencari senjata yang tersisa melainkan malah justru mencari deretan para guru pengajar yang masih hidup? Ya, Jepang namanya. Memang keren sekali sih negara satu ini.
Sudah orangnya disiplin, etos kerja dan belajarnya tinggi pula. Mimin sih yakin bahwa Jepang bisa begitu karena punya sejarah luhur yang dipelajari serius buat digunakan sebagai pijakan masa kini. Salah satu sejarah besar yang patut direnungkan tentu saja sewaktu era Sengoku (perang sipil), yakni saat meletusnya Perang Sekigahara.
Saking hebatnya sampai kisah tersebut difilmkan lho. Kisah bermula ketika clan Toyotomi sebagai pemimpin melemah karena ditinggal pimpinannya. Juga posisi Shogun alias jenderal perang mengalami kekosongan, sehingga terjadi kekacauan di mana-mana.
Melihat kesempatan kosong itu, Tokugawa Ieyasu yang terkenal licik memanfaatkannya untuk memegang kendali sebagai pemimpin Jepang yang baru. Tentu saja kelicikan itu ditentang oleh ksatria lain bernama Ishida Mitsunari yang masih tetap setia dengan klan Toyotomi.
Akhirnya terpecahlah wilayah Jepang menjadi dua, yakni Ishida Mitsunari yang terkenal taktik politiknya di sebelah barat. Sementara Tokugawa Ieyasu yang hebat militernya itu di sebelah timur.
Sudah lah ya, mimin certain segitu aja. Kalau kalian pengen ngerti detailnya, tonton aja filmnya. Hehe.
Nah, maksud mimin cerita Sekigahara ini karena memang relevan dengan yang terjadi di Indonesia antara dua jenderal sangar, yakni Gatot Nurmantyo di satu sisi berhadapan dengan Moeldoko di sisi lain.
Seperti Ishida dan Ieyasu, Gatot dan Moeldoko juga terlibat kericuhan soal politik, yaitu mengenai isu kebangkitan PKI. Bagi Gatot, PKI benar-benar mulai menunjukkan eksistensinya. Namun, tidak demikian bagi Moeldoko.
Bahkan kata Kepala Staf Kepresidenan itu, isu PKI yang digaungkan oleh Gatot sangat mencerminkan adanya bau-bau kepentingan politik sebab isu yang lahir sengaja didesain sedemikian rupa.
“Tidak mungkin datang secara tiba tiba. Karena spektrum itu terbentuk dan terbangun tidak muncul begitu saja. Jadi jangan berlebihan sehingga menakutkan orang lain”. Demikian kata Pak Moeldoko.
Wah kalau memang begitu, berarti pernyataan Pak Gatot yang sering mewanti-wanti kebangkitan PKI tuh cuma strategi doi untuk memuluskan kepentingan toh. Nah, emang apa sih kepentingannya Pak Gatot? Ya apa lagi jika bukan memuluskan langkah organisasi yang baru ditekuninya setelah pensiun dari TNI, yaitu Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Lagian juga Pak Moeldoko kan bilang seperti itu juga, bahwa KAMI tuh wadah yang banyak kepentingannya. Widih, ibarat film Sekigahara, Pak Gatot kok kelihatan kayak Ieyasu yang mau memanfaatkan momentuman, cuy.
Sedangkan Moeldoko tampak sekali seperti Ishida yang lebih menonjolkan sisi loyalitasnya terhadap pemerintah yang memang ingin agar isu PKI tuh nggak perlu diseriuskan.
Hadeuh. Kalau dua jenderal yang berbeda kubu sudah berselisih paham begini, mimin rasanya musti berdoa supaya ini berujung baik seperti yang dialami Jepang setelah perang Sekigahara deh.
Ya siapa tahu kan mereka berdua bertemu dalam satu forum, terus berdebat mengenai kebenaran sejarah dan isu PKI, lantas menemukan benang merahnya toh. Sehingga dari situ kita paham sebenarnya PKI nih mau ada beneran apa cuma settingan. Upps. (F46)