“Kejujuran adalah kebijakan terbaik; tetapi orang yang diatur oleh pepatah itu bukan orang yang jujur” – Richard Whattely, ekonom asal Inggris.
Gengs, pernah nonton si pengendali empat elemen berkepala botak yang sangat menggemaskan dalam serial Avatar: The Last Airbender? Tentu sedikit banyak pernah lah ya, minimal lihat sekilas deh.
Dalam episode ke-31 dan ke-32, ada alur cerita yang sedikit mirip dengan tema yang mimin tulis di sini. Jadi, dikisahkan si Avatar yang bernama Aang bersama Katara, Saka, dan Toph sedang berkunjung ke perpustakaan Wan Shi Tong.
Mereka seperti biasanya menumpang Appa, bison besar yang bisa terbang. Aang bersama rombongan pun masuk ke dalam perpustakaan sedangkan Appa dan Toph tinggal di luar.
Setelah berbincang dengan si pemilik perpustakaan, tiba-tiba terjadi perselisihan yang menyebabkan perpustakaan tenggelam ke dalam gurun pasir. Mereka pun berhamburan keluar.
Lhadalah, nggak tahunya sesampai di luar, Aang kaget karena Appa hilang entah ke mana. Usut punya usut, Appa diculik untuk dibawa ke Ba Sing Sae.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk ke sana, meski susah payah menggunakan jalur darat, bukan udara seperti yang biasa ditempuhnya. Sebenarnya, bisa saja pakai jalur laut, namun karena ada satu teman yang nggak punya surat jalan, mau nggak mau rencana jalur laut diurungkan.
Kisah di atas setidaknya memberi tiga pelajaran nih, gengs. Pertama, mau di dunia kartun atau nyata, transportasi udara memang juara. Kedua, meski via udara lebih nyaman, namun kalau ternyata kondisinya nggak memungkinkan, ya jangan dipaksakan tetapi juga jangan diabaikan. Artinya, tetap diusahakan supaya pulih tanpa mengorbankan kehidupan.
Ketiga, masalah perizinan merupakan hal yang vital. Coba tengok aja bagaimana Aang dan pasukan rela menghindari jalur laut, sebab izin administrasi kurang. Keren nggak tuh? Sekarang, coba ketiga pelajaran itu mimin pakai buat nyentil soal kebijakan penerbangan kita.
Jadi, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) lagi mengkaji kemungkinan dihapusnya syarat wajib rapid test dan swab. Sebenarnya, kalau diamati, ini punya dua motif, cuy. Selain motif kesehatan, juga ada unsur ekonominya.
Namun, kalau mimin membaca kok motif ekonomi yang paling dominan ya. Lha bagaimana nggak berpikir begitu? Wong kalau mau dibandingkan antara rasionalisasi Kemenhub dengan kesehatan masyarakat lho justru timpang kok.
Kemenhub hanya bilang, bahwa ini masih dipertimbangkan sembari menunggu kewenangan Satgas. Sudah itu saja, tanpa alasan yang bisa didiskusikan. Hadeuhh.
Mimin kan jadi curiga apa jangan-jangan Kemenhub mulai berpikir bahwa peraturan yang ketat membuat industri maskapai penerbangan kedodoran sehingga pajak ke pemerintah agak susah – alias nggak ada uang.
Padahal, di masa pandemi urusannya bukan cuma ekonomi saja lho. Lebih dari itu, ada value yang menjadi pilar segala persoalan, yakni kesehatan.
Sekarang coba ditelisik. Apakah perkembangan kasus Covid-19 sudahkah membaik? Kalau ikut sama omongannya Presiden Joko Widodo (Jokowi), ya jawabannya belum lah. Bahkan, Presiden lho khawatir Covid-19 ini bakal datang lagi via gelombang kedua.
Terlebih, kemarin saja masih ada penumpang Lion Air yang ternyata mengidap Covid-19. Itu kemarin lho ya, di mana ada tes ketat. Coba bayangin kalau tanpa tes. Haduh, kesehatan masa dikesampingkan sih?
Daripada membuat kebijakan yang kemungkinan membahayakan publik, mending mencontoh Singapura yang memberi stimulus untuk industri penerbangan. Tapi, kira-kira, pemerintah Indonesia bisa nggak ya? Uppss. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.