“Bukannya aku takut akan kehilangan dirimu. Tapi aku takut kehilangan cintamu,” – Juliette, Bukannya Aku Takut
PinterPolitik.com
Ada orang yang bilang, partai di Indonesia udah terlalu banyak. Anggapan itu bisa benar, tapi bisa juga tidak. Kalau melihat komposisi di parlemen saat ini misalnya, sekarang ini ada sembilan partai yang ada di Senayan. Nah, jumlah itu ada yang menganggap sudah kebanyakan, tapi ada juga yang ingin agar partai baru bisa punya kesempatan tembus DPR.
Di tengah anggapan-anggapan tersebut, muncul sebuah usulan dari partai pemenang Pemilu 2019, PDIP. Partai yang diketuai oleh Megawati Soekarnoputri ini, memiliki usulan agar parliamentary threshold dinaikkan menjadi lima persen.
Kalau menurut PDIP, alasan mereka mengajukan hal itu adalah agar sistem presidensial lebih efektif di negeri ini. Partai tersebut berpendapat sedikitnya jumlah parpol yang lolos ke parlemen akan membuat pengambilan keputusan lebih cepat dan efisien.
Bentar nih, buat yang belum ngerti, parliamentary threshold itu ambang batas minimal perolehan suara nasional yang harus diraup parpol agar bisa lolos ke DPR. Nah, partai yang gak memenuhi persentase suara sesuai yang diatur gak berhak duduk di kursi empuk Senayan.
Di Pemilu 2019 lalu, persentase suara yang harus dipenuhi agar bisa lolos ke DPR adalah empat persen. Dari ambang batas tersebut, kita bisa tahu kalau partai-partai yang pas Pemilu 2019 ikutan kampanye tapi gak terlihat wara-wiri di Senayan, berarti mereka gak sampai 4 persen perolehan suaranya.
Wow, tambah susah lagi dong partai-partai lolos ke DPR?
Merujuk pada hal tersebut, wacana menaikkan parliamentary threshold ini kemungkinan besar – kalau diloloskan – akan menyulitkan banyak partai di Pemilu yang akan datang. Partai sekelas PPP aja di Pemilu 2019 cuma meraup 4,52 persen, bisa aja mereka harus kerja keras agar mendapat 5 persen suara.
Bagi beberapa orang, rencana menaikkan parliamentary threshold ini cuma menguntungkan partai-partai besar aja. Merujuk hal itu, ada pandangan dari Richard S. Katz dan Peter Mair sebagaimana dikutip Marcus Mietzner tentang hubungan antara partai politik dan negara.
Menurut Katz dan Mair, partai-partai dalam hubungan tersebut akan mengejar regulasi yang menguntungkan mereka. Langkah yang dapat diambil misalnya, mereka akan membuat regulasi yang membatasi partai-partai baru.
Berdasarkan hal itu, terlihat kalau wacana menaikkan parliamentary threshold milik PDIP ini bisa membuat partai-partai baru kesulitan. Sementara itu, partai sekelas mereka taka akan harus bekerja sekeras partai-partai baru itu.
Nah, merujuk pada hal tersebut, mungkin bakal ada yang nanya, apakah PDIP mungkin takut dengan partai baru?
Coba kita lihat kemungkinan partai baru yang muncul. Sejauh ini, partai baru yang sudah memproklamirkan diri kesiapan mereka untuk berlaga adalah Partai Gelora besutan eks PKS Anis Matta dan Fahri Hamzah. Nah, apakah PDIP takut Partai Gelora?
Ya, gak tahu juga sih, itu juga kan cuma nanya.
Sebenarnya kalau misalnya ingin memperkuat sistem presidensial, langkah menaikkan parliamentary threshold ini sah-sah saja. Tapi, kalau memang serius ingin memperkuat sistem presidensial, mungkin harus ada yang nanya juga, sikap PDIP soal amendemen UUD 1945 yang ingin GBHN hidup seperti apa sih? (H33)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.