“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,” – Bambang “Pacul” Wuryanto, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP
Drama politik antara PDIP dan PSI akhirnya berakhir dengan permintaan maaf Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie.
Permintaan maaf Grace ini dianggap mempunyai kaitan erat dengan pidato politik Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri yang menyindir partai lain yang mendompleng kadernya untuk dijadikan calon presiden.
Seperti yang kita ketahui, sebelumnya PSI pernah mendeklarasi untuk mengusung kader PDIP, Ganjar Pranowo, sebagai bakal calon presiden (capres) dari PSI di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Merespons hal tersebut, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP Bambang “Pacul” Wuryanto menyebut partainya menerima permintaan maaf dari PSI.
Pacul mengaku PDIP memaafkan PSI dengan alasan kekhilafan. Namun, apabila terdapat sebab tertentu bertujuan mencelakakan PDIP, Bambang menyebutkan bahwa PDIP tak akan pernah melupakan meski telah memaafkan.
Anyway, pernyataan Pacul ini dapat dimaknai sebagai bentuk memaafkan yang bersyarat karena menyebut ada potensi PSI membuat PDIP celaka. Tafsir lainnya adalah PDIP setengah hati memaafkan PSI.
Hubungan kedua partai ini unik karena mempunyai banyak kesamaan. Secara atribut, logo mereka sama-sama dominan berwarna merah. Sementara, secara ideologi politik, keduanya partai nasionalis yang sering kali juga punya kebijakan politik yang sama.
Bahkan, sebelumnya, Grace pernah mengklaim PSI sebagai adik PDIP karena sama-sama partai nasionalis sehingga membutuhkan bimbingan dari partai yang lebih berpengalaman seperti PDIP.
Kembali ke konteks memaafkan setengah hati, penerimaan maaf “bersyarat” seperti ini sering kali juga kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari.
Hal ini biasanya disebabkan karena ada keinginan seseorang untuk tetap memaafkan perbuatan orang lain tetapi mempunyai harapan kalau orang yang berbuat salah itu tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Hal ini tentu berseberangan dengan pemahaman umum kalau memaafkan harus dibarengi dengan melupakan.
Arvan Pradiansyah dalam bukunya You Are a Leader! mengatakan bahwa sejatinya kitab suci hanya mengajarkan kepada kita untuk memaafkan, bukan melupakan. Jadi, memaafkan dan melupakan itu bukan satu paket.
Menurut Arvan, ada tipe orang yang tidak memaafkan dan tidak melupakan. Orang ini baginya orang yang tidak bahagia. Sementara, tipe lain adalah orang yang memaafkan dan juga melupakan. Baginya, ini tipe orang yang naif.
Maka dari itu, tipe orang yang menurutnya paling masuk akal adalah orang yang memaafkan tetapi tidak melupakannya karena seseorang perlu mengambil pelajaran dari peristiwa yang menyakitkan.
Hmm, kok pernyataan Pacul yang menggambarkan sikap PDIP kepada PSI ini juga sering kita hadapi saat bergaul ataupun menjalin hubungan asmara ya? Hehe.
Meski sulit, kita sadar kalau memaafkan sebenarnya hanya mengobati perasaan yang tersakiti meski tidak bisa serta merta mampu membuat kita lupa akan peristiwa yang terjadi.
Well, pada akhirnya, kita bisa tafsirkan kalau tidak melupakan bukan berarti tidak memaafkan dengan tulus, melainkan justru menjadi pelajaran agar tidak dirugikan kedua kalinya.
Bisa jadi, karena ditegur aja nih, PSI akhirnya minta maaf. Kan, enggak ada jaminan kalau nanti dekat-dekat Pilpres PSI buat kesalahan lagi ke PDIP? Who knows? Hehehe. (I76)