“Dengan demokrasi terpimpin, maka upaya untuk melakukan penyuapan itu tidak lagi dilakukan. Kita melakukan pendekatan secara lebih ilmiah dan bertanggung jawab.” – Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDIP
Seolah seirama, beberapa politisi PDIP mengungkit konsep demokrasi terpimpin – diawali dari Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat yang menyebut kalau demokrasi terpimpin akan menjadi solusi dari persoalan politik uang.
Di waktu yang berbeda, politikus PDIP lainnya, Adian Napitupulu, menepis anggapan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar Lodewijk F. Paulus yang menyebut internal PDIP bentrok karena elektabilitas Ketua DPR Puan Maharani kalah dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Adian mengatakan bahwa PDIP selalu kompak, terpimpin, menunggu arahan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri, serta menyindir agar Golkar belajar dari PDIP.
Terakhir, ungkapan demokrasi terpimpin terucap dari politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno, saat merespons komentar pengamat politik, Rocky Gerung, yang menurutnya terlalu utopis saat menilai PDIP.
Hendrawan mengklaim PDIP bukanlah partai yang mudah terperdaya hasil-hasil survei. Hal ini tentu karena semua kader PDIP terlatih kultur demokrasi terpimpin.
Entah apa maksud dari istilah demokrasi terpimpin para elite PDIP tersebut, satu hal yang dapat ditangkap yakni ada pola untuk membangun narasi kembali konsep demokrasi terpimpin.
Anyway, jika kita mengintip kembali sejarah Indonesia. Konsep demokrasi terpimpin pernah diterapkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, mulailah terlihat meningkatnya sistem otokrasi yang terpusat pada presiden.
Meski demikian, Soekarno percaya kalau demokrasi terpimpin adalah solusi bagi demokrasi parlementer yang saat itu dianggap tidak mampu menjalankan pemerintahan secara stabil.
Hal ini karena seringnya pergantian kabinet di era demokrasi parlementer yang menyebabkan instabilitas ekonomi dan politik dalam negeri.
Demokrasi liberal tamat pada tahun 1959 setelah dewan konstituante tarik ulur perihal penetapan dasar negara baru pengganti Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Kemudian, terbentuklah sistem baru dengan presiden sebagai pusat kepemimpinan yang disebut demokrasi terpimpin.
Melalui sistem ini, Soekarno menaruh harapan besar akan terwujudnya pemerintah yang terarah, agar pembangunan nasional dapat terlaksana.
Namun, alih-alih membuat pemerintahan stabil, demokrasi terpimpin malah menjadi fase sulit dalam sejarah politik Indonesia. Hal ini disebabkan karena kekuasaan yang sangat terpusat pada Soekarno.
Persoalan demokrasi terpimpin ini juga yang menjadi pemicu retaknya hubungan antara Soekarno dengan Wakil Presiden (Wapres) Mohammad Hatta. Menurut Hatta, demokrasi terpimpin menunjukkan pertentangan idealisme dan realitas.
Puncak perselisihan ini ketika Hatta mengundurkan diri dari jabatan wapres pada 1 Desember 1956 – menjadikan “dwitunggal” yang menjadi pelopor kemerdekaan itu berubah menjadi “dwitanggal”.
Hatta dalam tulisannya yang berjudul Demokrasi Kita, menyebut demokrasi terpimpin hanya akan membuat demokrasi di Indonesia menuju pemerintahan otoriter.
Menurut Hatta, demokrasi terpimpin kian nyeleweng dan hanya akan menuju jurang kemerosotan. Terbukti dengan munculnya persoalan ekonomi dalam negeri yang tidak stabil.
Well, cara berpikir Hatta tentang adanya jebakan otoriter jika sistem itu dilakukan secara terpimpin, dapat juga kita temukan loh dalam kehidupan sehari-hari.
Coba kita berandai-andai jika dalam sebuah organisasi atau sebuah sistem manajemen perusahaan memberikan hak kepada seseorang untuk melakukan apapun.
Bahkan, dalam sistem itu tidak disyaratkan untuk meminta pendapat dari personil yang lainnya – tentu akan membuat kekuasaan akan terpusat dan berpotensi untuk diselewengkan – mengingatkan kita akan pernyataan fenomenal dari Lord Acton yang berbunyi, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
Hmm, entah apa yang menjadi agenda besar para politisi PDIP mengulang-ulang istilah demokrasi terpimpin? Namun, dengan pola yang terlihat, seolah-olah ada narasi besar untuk menghidupkan kembali konsep warisan Soekarno itu. Who knows? Hmmm. (I76)