“Partai Golkar sendiri sudah mempunyai MoU dengan Partai China dan tentunya berikutnya rencana aksi dari berbagai kegiatan yang terkait dengan pengembangan SDM akan terus dilakukan,” – Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar
Beberapa hari lalu, muncul berita yang mencuri perhatian, yakni pertemuan antara Partai Golkar dengan delegasi Partai Komunis Tiongkok (PKT) di Jakarta.
Kedua partai tersebut sepakat membangun kerja sama dalam pertukaran dan pengenalan budaya, pendidikan, dan peningkatan kualitas SDM.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengatakan pertemuan Golkar dan PKT bertujuan untuk membahas kelanjutan kerja sama kedua belah pihak soal pendidikan politik dan pengembangan sumber daya manusia.
Usut punya usut, rupanya pertemuan ini hanya melanjutkan kerja sama yang rupanya sudah lama dijalin loh.
Bahkan, dalam pertemuan sebelumnya, Airlangga sempat berdiskusi langsung dengan Kepala Politbiro Hubungan Internasional Partai Komunis China (ID CPC), Song Tao.
Di era kepemimpinan Golkar sebelumnya, Ketua Umum Golkar Setya Novanto juga melakukan pertemuan dengan PKT, yang digelar di Yuzhou Guesthouse, Chongqing City, Tiongkok.
Anyway, mesra sekali ya kedua partai ini dalam menjalin hubungan kepartaian. Tentunya hal ini akan memunculkan pertanyaan, adakah agenda politik di balik kemesraan Golkar dengan PKT?
Nah, untuk menjawab hal tersebut, kita dapat merujuk pada kesamaan kedua partai ini. Jika kita amati, sebenarnya Golkar dan PKT mempunyai kesamaan loh.
Coba tengok ke belakang, Golkar di era Orde Baru sangat mirip dengan PKT di era sekarang. Ya, mereka sama-sama pemenang single majority (mayoritas tunggal) dalam kontestasi politik.
Sebagai penguasa tunggal, Golar bebas berkreasi dalam banyak bidang semata-mata untuk mensejahterakan rakyat. Bahkan Golkar tidak hanya hadir di tingkat medium dalam masyarakat, bahkan juga ke dalam tiap keluarga.
Hal yang sama juga terjadi pada PKT. Partai yang ikut mendirikan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 1 Oktober 1949 itu memegang kendali penuh atas negara, termasuk dari pemerintah, polisi, dan militer.
Selain itu, PKT juga memegang kendali atas media dan internet demi menghindari perbedaan pendapat dalam masyarakat. Hmm, sejahtera sih, tapi kan jadi enggak bebas dong masyarakatnya.
Terlepas dari perdebatan apakah lebih baik memilih kesejahteraan atau memilih kebebasan, saat ini nostalgia terkait era Orde Baru yang menawarkan kesejahteraan rupanya menjadi narasi politik yang cukup diminati.
Pada saat yang bersamaan, Golkar dapat mengambil keuntungan dari stigma yang saat ini berkembang, yakni masyarakat yang mulai menganggap era Reformasi telah gagal memperbaiki keadaan ekonomi.
Sebagai contoh, bermunculan slogan “Piye kabare le? Penak jamanku, to?” dapat ditafsirkan sebagai protes sosial, karena kondisi ekonomi semakin sulit.
Nah, bertemunya Golkar dengan PKT bisa jadi akan bernostalgia kalau dulu pernah berkuasa, sehingga memicu semangat Golkar untuk berkuasa kembali.
Toh, sekarang Golkar kan bukan lagi partai nasionalis, tapi juga partai berbasis religius. Kok bisa?
Buktinya, Golkar sedang mempraktekkan hadits yang berbunyi, “Uthlubul ilma walaw bishshiin”. Artinya, “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Tiongkok”. Hehehe. (I76)