Mencuat isu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP melarang Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk keluar kota. Isu ini membuat PDIP seakan bersikap paradoksal: partai yang lahir karena melawan kekangan Orde Baru, kok sekarang malah mengekang-ngekang. Apa karena semakin tua, jadinya PDIP semakin sensitif ya? Uppps.
Beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ramai diisukan kalau ia dilarang keluar kota oleh pimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ganjar seolah “dipingit” oleh PDIP untuk tujuan tertentu.
Sontak isu ini dihubungkan dengan semakin gencarnya aksi Ganjar yang dituduh tengah berkampanye jelang Pilpres 2024. Seperti dalam beberapa pemberitaan, Ganjar memang sangat sering berkunjung keluar Jawa Tengah.
Terkait isu pelarangan tersebut, Ganjar sendiri membantah kalau ia dilarang keluar Jawa Tengah. Ganjar mengatakan jika memang dirinya pergi ke luar Jawa Tengah hanya sebatas koordinasi dan ia mengaku selalu minta izin jika hendak ke luar daerah.
Meski senada dengan Ganjar, Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto tidak menampik bahwa ada batas-batas yang diberikan PDIP bagi kepala daerah dalam menjalankan tugas. Disebutkan bahwa kepala daerah tetap harus memprioritaskan wilayah kerja dalam melakukan kampanye untuk PDIP.
Terlepas dari ada atau tidaknya larangan terhadap Ganjar, isu ini pastinya akan melahirkan pertanyaan kritis terkait PDIP yang terkesan bersikap paradoksal. Seolah PDIP saat ini berbeda dengan PDIP atau lebih tepatnya PDI di era Orde Baru.
Banyak yang tentu masih ingat bagaimana perjuangan PDI merebut kebebasan dari rezim yang otoriter. Ya, PDI bukan hanya mendapatkan simpati rakyat, tapi juga mendapat imbas elektoral yang pada waktunya membuat partai kepala banteng ini diperhitungkan.
Beberapa pihak berpendapat bahwa meroketnya suara PDI karena implikasi dari keberadaan trah Soekarno, yaitu Megawati Soekarnoputri. Popularitasnya mulai mengusik Orde Baru, sampai-sampai Soeharto menganggap kehadiran Megawati sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
MC Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008, mengatakan bahwa represi dan aksi kekerasan yang dijalankan Orde Baru ternyata gagal membendung laju PDI dan Megawati. Sebaliknya, nama Megawati justru semakin populer.
Popularitas Megawati kelak menjadi kunci bagi kesuksesan PDI, yang kemudian pada tahun 1999 berubah namanya menjadi PDIP. Di sinilah spektrum politik PDIP tercitra sebagai partai yang keras menentang penindasan penguasa kepada rakyat.
Kembali ke konteks isu pelarangan Ganjar oleh PDIP, pada akhirnya seolah isu ini memperlihatkan indikasi pertentangan dalam diri PDIP. Dulu partai ini dikenal sebagai partai yang lahir karena melawan otoritarianisme, kok sekarang mulai membatas-batasi ruang gerak kadernya sendiri.
Jika kita potret lebih detail, sebenarnya paradoks partai di atas panggung politik tidak terlepas dari kian memudarnya makna dan eksistensi rakyat dalam pikiran dan habitus elite kita. Sering kali rakyat hanya menjadi variabel pelengkap agar elite tidak kehilangan legitimasi atas demokrasi.
Semoga saja isu pelarangan Ganjar keluar kota tidaklah benar karena mencederai nilai-nilai kebebasan dalam demokrasi. Bukan hanya untuk Ganjar sih, tapi setiap kader partai tetap harus diberikan kebebasan untuk mengekspresikan dirinya dalam panggung politik.
Pada akhirnya, dalam kondisi seperti ini, kedewasaan partai politik akan diuji. Semakin tua sebuah partai, maka ia haruslah semakin mapan dalam mengambil keputusan untuk menjaga eksistensinya sendiri.
Hmm, jadi kepikiran, rupanya bukan manusia saja yang makin tua semakin sensitif dan baper, tapi partai juga demikian ya? Upsss. Hehehe. (I76)
Relawan Jokowi, Kunci Menang Ganjar di 2024?