Sepak bola Indonesia tengah mengalami salah satu patah hati terbesar. Pasalnya, Piala Dunia U-20 yang seharusnya dilaksanakan di Indonesia dibatalkan oleh pihak FIFA.
“There is a superhero in all of us. We just need the courage to put on the cape.” – Superman
Bagi Superman, semua orang dapat menjadi seorang pahlawan. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya baik.
Ada istilah superman complex yang mana menggambarkan kondisi seseorang yang merasa harus selalu menjadi pahlawan dalam segala urusan. Akibatnya, orang-orang dengan superman complex ini menjadi suka ikut campur dengan urusan orang lain.
Persoalan Piala Dunia U-20 di Indonesia mungkin juga demikian. Pasca-pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah, muncul berbagai pahlawan yang seolah ingin menjadi corong kekecewaan dan amarah masyarakat.
Pada 29 Maret 2023, Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) resmi mengumumkan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Dilansir dari laman resmi FIFA, pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah disebabkan oleh current circumstances yang dinilai berkaitan dengan protes atas kehadiran tim nasional (timnas) Israel di Indonesia.
Protes ini pertama kali dilayangkan oleh Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) sebagai wujud komitmen terhadap perjuangan hak asasi manusia dan anti-penjajahan di Palestina. Sikap ini kemudian disusul oleh penolakan dari Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Tidak hanya nama-nama itu, Fraksi PDIP dan Fraksi PKS di DPRD Jawa Barat juga menyatakan penolakan. Lebih lanjut lagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menolak kehadiran timnas Israel di Indonesia.
Seakan bara api yang tidak bisa padam, aksi demonstrasi juga terjadi di Jakarta. Aksi ini diikuti oleh massa PA 212 dan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan lainnya. Penolakan ini didasarkan solidaritas kepada Palestina.
Situasi yang kian memanas di Indonesia pun mengharuskan Erick Thohir selaku Ketua Umum (Ketum) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk menemui langsung Presiden FIFA di Qatar. Meski demikian, hasilnya tetap nihil.
Seusai FIFA mengumumkan pembatalan ini, sikap lain dari masyarakat kemudian muncul seakan-akan mengatakan, “Jangan mencampuri sepak bola dan politik!” Meskipun penolakan timnas Israel datang dari berbagai entitas, tentu saja yang salah di mata publik tetap Ganjar Pranowo. Yah, nama Pak Ganjar yang paling terkenal sih soalnya. Hehe.
Tapi, bukan persoalan Pak Ganjar yang menarik. Pasca-pembatalan dan setelah Pak Ganjar di-rujak warganet, berbagai tokoh publik dan partai tiba-tiba angkat bicara mengenai pembatalan ini.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) dan Bupati Bandung Dadang Supriatna menyatakan kekecewaan masyarakat Jawa Barat atas keputusan FIFA meskipun DPRD Jabar termasuk kalangan yang menolak timnas Israel.
Partai-partai seperti Partai Demokrat, Partai NasDem, Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, hingga PDIP dan PKS yang menolak timnas Israel juga turut berkomentar. Salah satu yang paling vokal adalah Ketua Umum (Ketum) Demorkat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menggunakan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Indonesia sebagai bahan pidatonya.
Mungkin tokoh-tokoh ini memang kecewa. Mungkin juga, tokoh-tokoh ini punya keinginan tertentu. Bisa saja, mereka mau jadi pahlawan, misalnya, meskipun kesiangan.
Yah, tapi, politik memang kadang rumit. Persis seperti judul bukunya, bagi Harold Lasswel, politics is who gets what, when, and how. Ada baiknya kasus pembatalan FIFA dan segala rujakan yang mengikutinya dibedah menggunakan pengertian politik milik Lasswel ini.
Siapa yang diuntungkan? Siapa yang dirugikan? Jangan sampai semangat ‘tidak mencampuradukkan sepak bola dan politik’ malah dikooptasi oleh kepentingan politik. Kan, malah ironis banget tuh. ☹ (A89)