“Anies yang kita sarankan bertanya ke KPK. Sudah disampaikan (ke Anies] baru-baru ini karena ada yurisprudensinya,” – Andi Arief, Kepala Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat
Beberapa dari kita mungkin pernah menjalani hubungan tanpa status. Bahkan, sebagian besar dari kita merasa takut ketika kejelasan hubungan terus ditarik-ulur untuk diungkapkan.
Kejelasan sebuah status itu penting bukan karena hanya menunjukkan bentuk keseriusan, melainkan bentuk komitmen dan sinyal apa yang harus dilakukan ke depannya.
Nah, persoalan sehari-hari ini rupanya tidak hanya berlaku di kehidupan asmara kita saja loh, tapi juga muncul dalam bentuk yang berbeda dalam sebuah peristiwa politik.
Hal ini terlihat ketika Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat Andi Arief meminta Anies Baswedan menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meminta kejelasan statusnya di kasus Formula E.
Andi menilai KPK sudah seharusnya berikan kejelasan status Anies yang saat ini sedang menjadi calon presiden (capres) Partai NasDem. Hal ini mirip dengan kasus Rumah Sakit (RS) Sumber Waras yang pernah menyeret mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Andi menyandingkan konteks kasus Anies dan Ahok dan menganggap dua peristiwa hukum ini mirip, serta menuntut ketegasan KPK agar berani memberikan kejelasan status.
Anyway, apa yang dilakukan oleh Demokrat melalui Andi ini mungkin dapat kita amati sebagai upaya untuk menyelamatkan Anies sebagai sandera politik – sebuah fenomena yang biasa terjadi ketika kasus hukum dijadikan instrumen penyanderaan.
Fenomena semacam ini sudah tidak asing di kalangan para aktivis dan kader partai politik (parpol). Bahkan, istilah politik sandera sudah ada sejak dulu – hanya level permainannya saja yang berbeda-beda.
Secara umum, politik sandera bertujuan untuk melemahkan lawan. Politik sandera biasa digunakan oleh penguasa untuk menjinakkan penentangnya. Tujuannya jelas, yakni agar penentangnya dipaksa mengikuti yang diinginkan si penyandera.
Di ujung drama saling sandera ini sering muncul “negosiasi” yang dikenal dengan politik transaksional. Meski tindakan penyanderaan itu berkonotasi negatif dan kejam, tidak bisa dipungkiri kalau ini bagian dari seni politik.
Ruth Berliana dalam tulisannya Carrot and Stick Reward and Punishment, menafsirkan ungkapan carrot–and-stick sebagai upaya penyanderaan seseorang untuk melakukan yang diinginkan orang lain.
Wortel (carrot) dan tongkat (stick) merupakan suatu ungkapan yang mengacu kepada “reward” dan “punishment”. Dalam politik, peristiwa ini diterjemahkan sebagai upaya tawar-menawar.
Simbol tongkat dapat berupa ancaman hukuman. Begitu pula sebaliknya, simbol wortel dapat juga berupa tawaran yang menguntungkan.
Persoalan ini tidak hanya terjadi pada kasus Anies maupun Ahok yang telah dibahas di atas. Setiap tokoh maupun partai pasti punya persoalan hukum yang bisa jadi menyandera mereka dalam melakukan langkah politik.
Sebut saja kasus Hambalang, kasus Kardus Durian, kasus pelanggaran HAM masa lalu, kasus e-KTP, hingga juga Formula E. Bahkan, mungkin nanti ada satu fase ketika elite dan parpol saling sandera, yakni saat menjalani proses Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
By the way, ngomongin soal sandera dan Demokrat, jadi ingat peristiwa penyanderaan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dulu. Ketika itu, terjadi operasi pembebasan sandera Kapal MV Sinar Kudus dari tangan perompak Somalia.
Demokrat ini emang spesialis operasi pembebasan sandera-menyandera ya. Nah yang jadi pertanyaan: apa “reward” Demokrat ya jika kali ini berhasil membebaskan Anies dari sandera politik ini?
Hmm, jadi kepikiran kalau operasi ini bisa jadi punya relasi dengan calon wakil presiden (cawapres) Anies nantinya. Ataukah benar ini ujian bagi Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk membuktikan kelayakannya menjadi cawapres? Who knows? Hehehe. (I76)