Site icon PinterPolitik.com

Ojol Sejahtera, Janji Tinggal Janji?

Ojol Sejahtera, Janji Tinggal Janji?

Fakhruddin Muchtar Direktur Pusat Kajian Pancasila Universitas Jakarta (Pusaka Pancasila Unija). (Foto: demokrat.or.id)

“Besar harapan kami, aksi yang kami lakukan dapat diakomodir menjadi diskusi yang baik dan konstruktif, dan dapat menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi rakyat Indonesia yang berprofesi sebagai pengemudi berbasis aplikasi,” – Ali Pamasyah, Ketua Humas Koalisi Driver Online (Kado)


PinterPolitik.com

Baru-baru ini, Kementerian Perhubungan menetapkan tarif baru ojek online (ojol) untuk semua zona. Ketetapan tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan (Kemenhub) Nomor KP 564 Tahun 2022. 

Aturan menteri ini muncul untuk mengurai persoalan yang berdampak langsung kepada para pengemudi ojol, yaitu kenaikan harga BBM dan inflasi. 

Namun, para pengemudi ojol tetap melakukan protes. Sebab, peraturan ini belum berimbang dengan keuntungan dan potongan biaya yang diatur oleh aplikator. Potongan aplikator dianggap masih melebihi batas aturan yang dikeluarkan oleh Kemenhub. 

Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati, mengatakan saat ini aplikator ojol masih memberlakukan potongan 20 sampai 30 persen. Potongan tersebut melebihi aturan pemerintah yang membatasi biaya komisi 15 persen. 

Sedikit memberikan konteks, di lapangan para pengemudi ojol mengaku hanya mendapatkan keuntungan sekitar Rp10.400 untuk mengantar penumpang dengan jarak di bawah empat kilometer. 

Sebelum harga BBM dinaikkan, pengemudi ojol cukup mengeluarkan kocek Rp20 ribu untuk bensin karena 1 liter Pertalite dapat digunakan untuk mengantar penumpang 3 sampai 4 kali. Setelah BBM naik, pengemudi harus mengeluarkan Rp50 ribu per hari sebagai modal kerja. 

Pada titik inilah persoalan ojol ini kemudian berubah menjadi persoalan politik. Sekiranya kita sepakat bahwa persoalan kesejahteraan tidak lepas dari persoalan politik. Apalagi, saat ini pengemudi online sudah menjadi semacam kelas sosial tersendiri. 

Driver Online, Kelas Revolusi Baru?

Direktur Pusat Kajian Pancasila Universitas Jakarta (Pusaka Pancasila Unija), Fakhruddin Muchtar memandang kesejahteraan pengemudi ojol sudah semestinya diperhatikan. Keberadaan mereka lebih dari sekadar profesi, melainkan juga menjadi simbol golongan atau kelas revolusioner baru. 

Fakhruddin berangkat dari tiga fase revolusi sosial, yang terdiri dari revolusi agrikultur, revolusi industri, dan revolusi informasi. 

Dari revolusi agrikultur, lahir simbol kelas revolusioner baru, seperti petani. Lalu, pada revolusi industri lahir buruh. Dan ketika revolusi informasi, seharusnya juga ada satu kelas pekerja yang tidak kalah penting dan solidnya. Menurutnya, yang paling mendekati untuk itu adalah para pengemudi ojol. 

Fast forward, Fakhruddin memandang pengemudi ojol adalah salah satu kunci demokrasi di Indonesia, baik dalam demokrasi ekonomi maupun demokrasi politik. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memperhatikan kebijakan yang belum terlaksana dengan baik. 

Robert Nozick dalam bukunya Anarchy, State, and Utopia menyatakan bahwa satu-satunya hak dasar yang dimiliki manusia adalah hak untuk bebas dari gangguan orang lain. Hak itu dapat diperoleh jika negara mampu meyakinkan pasar untuk melaksanakan kewajibannya. 

Dari sudut pandang ini, perlindungan bagi pekerja biasanya berhadapan dengan kepentingan pengusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam menjalankan usahanya. 

Hmm, jadi paham kenapa seringkali pihak pekerja dirugikan secara langsung. Harapan mereka seringkali mendapat PHP (Pemberi Harapan Palsu) dari pemerintah. Ojol diminta sejahtera, tapi rupanya janji tinggal janji. Upps. Hehehe. (I76)


Kelas Revolusi Baru, Jalan Nadiem Menuju Pilpres
Exit mobile version