Warganet diramaikan oleh peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo kepada Cristalino David Ozora. Sontak saja, amarah warganet tertuju pada Mario dan teman-temannya yang terlibat dalam kekerasan tersebut.
“Do you hear the people sing? Singing the song of angry men?” – Les Misérables Cast, “Do You Hear the People Sing?” (2012)
Pada suatu pagi di abad ke-19, Jean Valjean menjalani hari-harinya seperti biasa sebagai pemilik pabrik dan kepala daerah di Montreuil, Pas-de-Calais, Prancis. Namun, ia akhirnya dikejutkan oleh kepala kepolisian baru yang akhirnya tiba di pabriknya – namanya adalah Javert.
Di saat itu pula, sebuah kecelakaan terjadi di pabrik tersebut, Valjean sebagai pemilik pabrik merasa iba dengan buruhnya yang terluka akibat kecelakaan itu dan akhirnya memutuskan untuk membantu sang buruh.
Sebuah hal yang umum, bukan? Namun, ternyata hal itu tidak biasa terjadi di Prancis pada zaman itu. Bukan pemandangan umum kalau ada orang elite bisa peduli terhadap kelompok proletar seperti buruh, pengemis, nelayan, dan warga biasa – sehingga Javert pun kaget dan malah mencurigai Valjean.
Hmm, kenapa demikian? Kenapa warga Prancis kala itu – setidaknya yang diceritakan dalam film Les Misérables (2012) – begitu antipati terhadap kelas menengah ke bawah? Mengapa kelompok elite begitu merasa entitled (berhak) untuk bertindak sesuka hati?
Mengacu ke penjelasan Harrison W. Mark dalam tulisannya The Three Estates of Pre-Revolutionary France, kelompok elite – yakni kelompok bangsawan (nobility) dan tokoh agama (clergy) – mendapatkan privilese yang begitu istimewa meskipun lebih dari 90 persen pajak dibayarkan oleh orang-orang biasa (commoners).
Hmm, ngomong-ngomong soal pajak, jadi ingat dengan peristiwa yang akhir-akhir ini ramai dibahas oleh warganet Indonesia. Soalnya nih, buntut dari kasus kekerasan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo terhadap Cristalino David Ozora.
Kekerasan antar-remaja ini pun merambat hingga ke politik dan pemerintahan lho, yakni ketika harta kekayaan ayahnya, Rafael Alun Trisambodo, yang merupakan salah satu pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pasalnya, Mario kerap memamerkan mobil Rubicon dan sepeda motor gede (moge) Harley-Davidson miliknya.
Alhasil, fakta lain pun terungkap bahwa masih banyak pegawai Kemenkeu belum laporkan harta kekayaannya. Makin-makin deh, muncul ajakan dari masyarakat agar tidak perlu membayar pajak dengan banyaknya kecurigaan atas asal harta kekayaan itu.
Hmm, kalau gini caranya, kasihan Bu Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati ya. Udah susah-susah cari cara buat meningkatkan pendapatan negara melalui pajak, eh, malah terdampak oleh perilaku Mario. Huhu.
Terlepas dari Bu Ani sendiri, bukan nggak mungkin, kelompok elite di Indonesia merasa entitled dan memiliki privilese juga. Mengacu ke tulisan PinterPolitik.com berjudul Kenapa Mario Berani Pukuli David?, kaum elite di Indonesia memang semacam mendapatkan ‘legitimasi’ konkret karena selalu jadi kelompok yang terpandang – membuat mereka merasa berhak mendapatkan privilese-privilese tersebut.
Nah, persoalannya, banyak peraturan perundang-undangan justru juga berusaha menjaga dan mengawasi para elite pemerintahan ini. Kalau, misalnya, trust (kepercayaan) masyarakat kepada pemerintah terus menurun karena kasus semacam Mario Dandy ini, mungkinkah kisah ala Les Misérables terulang di Indonesia di masa kontemporer? Waduh, gimana tuh, guys? (A43)