Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasdem dan PDIP terlihat menjadi ajang saling sindir ketua umum partai soal “partai sombong”. Lantas, apakah Surya Paloh dan Megawati sedang saling sindir?
Beberapa hari yang lalu, beredar pemberitaan menarik terkait saling sindir antara Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri soal partai sombong.
Bermula saat Paloh menutup rangkaian acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) NasDem. Dalam pidatonya, ia mengajak kader NasDem untuk menanggalkan praktik kesombongan, idealnya partai politik jangan merasa hebat sendiri.
Tanpa menyebut nama partai, Paloh mengungkapkan bahwa partai itu berbeda dengan NasDem yang tidak memenuhi syarat presidential threshold.
Sedikit memberikan konteks, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang, PDIP satu-satunya partai yang mempunyai modal untuk langsung lolos presidential threshold 20 persen. Konteks ini yang menggiring penafsiran, bahwa Paloh ingin mengarahkan pernyataannya kepada PDIP.
Dalam Rakernas PDIP, Megawati membalas sindiran Paloh terkait partai sombong. Mengaku bingung, kenapa bisa ada tuduhan “partai sombong” kepada partainya, padahal ia merasa tidak pernah menjelekkan partai lain.
Membaca fenomena saling sindir antara ketua umum partai ini, seolah mengilustrasikan potret dasar manusia, yang tidak luput dari pertengkaran. Tentunya pertengkaran bisa berupa apa saja, mulai dari pertengkaran tutur sampai pada pertengkaran fisik.
Russell Ridgeway dalam tulisannya The Psychology of Our Quarrels, menjelaskan bahwa pertengkaran merupakan fenomena kepribadian yang berlangsung secara evolusioner. Dalam arti, pertengkaran dapat bermula dari kata-kata, kemudian menjadi tindakan atau pun sebaliknya.
Saling sindir mungkin bagian dari pertengkaran yang masuk dalam konteks tutur. Sebenarnya di luar sana, terdapat juga pertengkaran yang dilakukan secara fisik, seperti duel kemudian pengeroyokan. Dan tidak sedikit juga pertengkaran hanya berupa sikap saling diam.
Contoh lainnya, dalam konteks beragama dikenal perang mimbar, hal ini merujuk pertengkaran antara pemuka agama. Dalam dunia digital, populer istilah twitwar, ini juga merupakan bentuk pertengkaran dalam dimensi kekinian.
Dalam dunia politik, pertengkaran tidak saja melalui mimbar atau twitter. Fenomena saling sindir Megawati dan Paloh memberikan makna lain tentang pertengkaran, yaitu pertengkaran dapat juga melalui Rakernas partai politik.
Uniknya, pertengkaran kedua tokoh ini menggunakan bahasa yang samar dan sulit untuk dipahami. Mungkin jelas istilah “partai sombong” tapi tidak gamblang mengatakan partai apa. Begitu Pula komentar balik Megawati yang mengatakan tidak mengurus partai orang, juga bernada sindiran yang dapat dimaknai bahwa ada orang asing yang cawe-cawe terhadap partainya.
Janet Beavin Bavelas dalam bukunya Equivocal Communication, menjelaskan bagaimana perilaku politisi yang selalu menggunakan bahasa samar saat berkomunikasi. Bahasa yang samar sengaja digunakan sebagai upaya untuk mengecoh penafsiran terhadap sebuah diksi maupun frasa.
Hmm, mikirin yang samar-samar, jadi muncul fantasi samar. Bagaimana jika NasDem dan PDIP punya visi yang sama untuk menolak “partai sombong”. Bisa saja mereka membentuk koalisi yang diberi nama Koalisi Menolak Partai Sombong, dapat disingkat Kompas. Hehehe. (I76)