“Ini bagus juga. Saya hormati itu. Makanya, kalau sudah tahu elektabilitas kecil, ngapain harus dihitung? Anggap saja ini partai main-main.” – Surya Paloh, Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem
Beberapa waktu lalu, panggung politik Indonesia dihiasi ribut-ribut soal rilis survei berbagai lembaga survei. Hal ini juga menimpa Partai NasDem yang menurut beberapa lembaga mengalami penurunan jumlah pemilih.
Isu ini tentunya langsung direspons oleh Ketua Umum (Ketum) NasDem Surya Paloh yang menyatakan bahwa pemimpin partai akan bertanggung jawab jika perolehan suara yang didapat menurun pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Surya Paloh mengatakan pihaknya menghormati hasil survei tersebut dan, karenanya, ia meminta agar tak memperhitungkan partainya. Dengan nada sarkastis, Paloh menyatakan, “Anggap saja ini partai main-main.”
Respons Paloh ini seolah menyiratkan makna yang cukup dalam. Dalam konteks bahasa, ungkapan ini termasuk bagian dari majas litotes dan, layaknya alat penyampai pesan lainnya dalam politik, majas juga dapat menjadi instrumen perang wacana.
Ulin Nuha Masruchin dalam bukunya Buku Pintar: Majas, Pantun, dan Puisi menjelaskan bahwa majas litotes adalah ungkapan menyatakan perlawanan dari kenyataan atau realitas sosial. Majas ini biasa digunakan untuk merendahkan diri kepada lawan bicara.
Litotes sebagai salah satu entitas majas tak cukup paripurna jika hanya diterjemahkan secara leksikal kebahasaan.
Seperti halnya majas-majas lain, semestinya dapat dilihat dari sudut pandang yang lebih luas dan lebih mendalam, yang mana dalam kajian termutakhir dimasukkan kategori analisis wacana kritis.
Bisa jadi, ungkapan Paloh mempunyai dua bentuk secara bersamaan, yakni bentuk sindiran sekaligus kritiknya. Berupa sindiran untuk merendah agar NasDem tidak perlu diperhatikan tetapi sekaligus juga menyindir partai yang mungkin merasa besar.
Kedua, ini bentuk lain dari kritik atas rilis survei yang saat ini diduga bisa di–setting sesuai kepentingan “bandar politik” – yakni mereka yang bisa juga dekat dengan partai-partai besar.
Hal yang sama pernah disampaikan oleh pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, yang melihat fenomena rilis survei lahir karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu.
Gun Gun membagi kepentingan menjadi tiga, yakni kepentingan politik, kepentingan ekonomi atau bisnis, dan, terakhir, kepentingan publik. Dari ketiga kepentingan yang ada, lembaga survei diharapkan tetap berpegang pada terakhir yang lebih “berfaedah”, yaitu kepentingan publik.
By the way, membicarakan NasDem hanya partai main-main mengingatkan kita tentang makna main-main itu tidak selamanya berkonotasi negatif, seperti bercanda, apa adanya atau tidak serius loh.
Sebagai contoh yang pernah terjadi pada Apple, sebuah perusahaan teknologi yang meluncurkan produk-produk dengan teknologi yang sangat canggih – bahkan bisa dikatakan tak terbayangkan sebelumnya.
Tahu nggak sih kalau Steve Jobs yang merupakan sosok di balik perusahaan Apple ini mengaku kalau dalam menciptakan produk-produknya itu berasal dari semangat ingin bermain-main dengan teknologi?
Justru, dari awalnya hanya main-main, ini kemudian melahirkan semangat untuk bekerja keras – mulai titik nol hingga Apple sebesar seperti yang sudah kita ketahui saat ini.
Well, ini mungkin bukti kalau “main-main” jangan dianggap remeh loh. Bahkan, mungkin, main–main NasDem ini yang harus dikhawatirkan oleh partai-partai yang “serius”. Uppsss. Hehehe. (I76)