“Seni tertinggi guru adalah untuk membangun kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan” – Albert Einstein, Ahki Fisika asal Jerman
Cuy, kalian percaya gak sih jika orang atau lembaga yang berbuat kebaikan itu melakukan segala hal biasanya menggunakan nilai yang diyakininya? Dengan berlandaskan nilai tersebutlah, sebuah prinsip dan kepercayaan tidak akan mudah luntur, bahkan meskipun ditawari sebuah embel-embel nilai materiil yang besar sekalipun, karena memang melalui prinsip tersebutlah orang atau lembaga bisa menjadi besar.
Hal tersebut juga kelihatannya dipegang tegas oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Padahal, organisasi masyarakat sekaliber NU dan Muhammadiyah, pasti masuk dalam kategori gajah dan bisa mendapatkan dana hibah Rp 20 miliar setiap tahunnya.
Namun, karena menilai terdapat kejanggalan dan tidak sesuai dengan prinsip kebajikan yang mereka pegang teguh, akhirnya mereka berdua memilih jalan untuk mundur dari program yang diselenggarakan Kemendikbud tersebut, yakni Program Organisasi Penggerak (POP).
Tidak lama berselang, eh, ladalah, kok ada lagi yang menyusul, yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ya, meskipun pertimbangan dan alasannya berbeda, tetapi dengan tiga organisasi besar yang sudah bercokol lama dalam dunia pendidikan di Indonesia keluar dari POP, tentu menjadi warning dan alarm dong bagi Kemendikbud, khususnya untuk menterinya, Nadiem Makarim.
Lebih jauh dari sengkarut terkait proses seleksi yang cenderung aneh, ajaib, penuh kejanggalan, dan cenderung seakan seperti pembuatan program asal-alasan, ada lagi nih, cuy, kejanggalan yang berlanjut, yaitu terkait alokasi dana dalam program POP ini. Behh, kalau mimin mau bahas ini, sebenarnya nggak tega, cuy, pasalnya parah banget tapi ya gimanalagi ya. Semua hal yang memang tidak sesuai dengan semestinya akan kita coba urai sehingga memberikan pencerahan kepada masyarakat. Buset, gaya banget dah mimin ya, hehehe.
Nah, gini, cuy, jika melihat jumlah organisasi masyarakat (ormas) yang lolos seleksi POP, yaitu 28 ormas yang masuk kategori gajah, 43 ormas masuk kategori macan, dan 1.112 masuk kategori kijang, seharusnya anggaran yang keluar bisa mencapai Rp 800 miliar. Sementara, anggaran yang dimiliki Kemendikbud ternyata hanya Rp 595 miliar. Weleh-weleh, lah kok kurangnya banyak banget?
Mimin jadi mau bertanya nih kepada Mas Menteri – sapaan akrab Nadiem – sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dan pebisnis. Ini kan bukan uang sedikit ya untuk nambal kekurangan anggaran. Terus,gimana nanti laporan yang akan dibuat gitu loh?
Duh, mimin jadi bingung nih. Kekurangan anggaran ini nanti masuknya kategori keuntungan bagi Kemendikbud apa kerugian ya? Hadeuh, mungkin Mas Menteri bisa bantu jawab deh.
Gini loh, kalaupun ternyata ada beberapa organisasi filantropi yang menggunakan dana mandiri dan masuk dalam program POP ini, harusnya kan dijelaskan sejak awal sehingga tidak ada salah paham. Bukan menunggu gaduh, malah baru ada yang bersuara.
Kan, lebih enak jika ada penjelasan terlebih dahulu, biar tidak ada salah paham di antara kita. Lebih-lebih, kepada mimin nih sebagai insan yang kepo abis. Hehehe.
Melihat kondisi seperti ini, mimin jadi sepakat nih sama Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Tanjung yang meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawas Keuangan (BPK) untuk menelisik anggaran untuk program POP sehingga nantinya tidak disalah gunakan oleh pihak-pihak yang punya kepentingan pribadi.
Kan, bahaya. Negara sudah kembang kempis dan ibaratnya puasa Senin-Kamis demi menghemat anggaran. Ehh, malah di-sliding sama orang lain. Hehehe. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.