“Restu bumi leburkan hati, sucikan dari debu dunia,” – Dewa 19, Restoe Boemi
PinterPolitik.com
“Kapan nikah?” Pertanyaan yang sungguh membosankan tapi terus-menerus diulang-ulang oleh banyak orang. Mau lagi lebaran atau sekadar kumpul keluarga, pertanyaan ini terus-menerus dilontarkan oleh sanak saudara. Dikira nikah gampang apa?
Pertama ya, nyari pasangannya aja tuh susahnya minta ampun. Ada yang fisiknya menarik, eh tahunya dia gak mau sama kita. Ada yang akhirnya mau sama kita, eh tahunya dia bau ketek. Ada yang semua syarat fisik dan cinta dipenuhi, eh ternyata mau nikahan bak putri raja. Pokoknya susah deh.
Kalau misalnya sosok yang dicinta ternyata udah dipenuhi, masalah gak berhenti di situ. Perjuangan berikutnya ada di ikhtiar merebut restu calon mertua. Wah, ini pertanyaannya bisa macem-macem, mulai dari agama, pekerjaan, keturunan, suku, dan lain sebagainya.
Belum lagi urusan finansial, beuh ini juga bikin pusing. Sekarang kan zamannya Instagram, nah banyak calon mempelai yang ingin pesta pernikahan dikemas se-instragammble mungkin sehingga bisa membuat anggaran pernikahan membengkak. Harus nabung kayak apa coba kalau mau bikin pernikahan seperti Princess Disney?
Nah, di tengah berbagai daftar yang harus dipenuhi tersebut, ada satu lagi nih yang berpotensi membuat perkara pernikahan jadi tambah sulit. Menko PMK Muhadjir Effendy mewacanakan agar pasangan yang mau menikah melakukan sertifikasi dulu sebelum memulai biduk rumah tangga mereka.
Waduh, apa lagi ini? Masak urusan nikah harus ada sertifikatnya segala?
Sebenarnya sih, kalau kata Pak Muhadjir, belum pasti apakah ada sertifikatnya atau enggak. Sertifikasi yang dimaksud ini tuh lebih banyak ke kelas atau bimbingan pra nikah. Kalau kata Pak Muhadjir, kalau gak lolos kelas pra nikah ini, pasangan gak boleh menikah. Waduh.
Di atas kertas, bimbingan pra nikah ini sebenarnya mungkin sah-sah aja. Mungkin ada pasangan yang perlu diberikan pengetahuan lebih mendalam secara religius, ekonomi, atau kesehatan terkait jalannya pernikahan.
Tapi, kalau misalnya dibuat wajib sampai gak bisa nikah, bukankah ini bentuk intervensi negara kepada ranah privat warga negara? Masak sih udah capek merebut restu mertua masih harus mendapat restu negara?
Hmmm, semoga aja sih, formulasi bimbingan pra nikah ini gak sampai mengintervensi urusan privat terlalu jauh. Kalau enggak, gimana nasib para calon pengantin, udah susah nyari pasangan, merebut restu, sama ngumpulin uang, tahunya gak dibolehin nikah sama negara? (H33)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.