Site icon PinterPolitik.com

Misteri Teror Kominfo

Misteri Teror Kominfo

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate. (Foto: Kompas)

“Teror bagaimana? Saya baru tahu teror, Kominfo diteror kali,” – Johnny G. Plate, Menkominfo


PinterPolitik.com

#BlokirKominfo menjadi trending di Twitter, banyak warganet yang melontarkan kritik terhadap kontroversi kebijakan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Dalam berbagai pemberitaan, disebutkan sejak 30 Juli 2022, Kominfo telah memblokir beberapa gim daring seperti Steam, Counter-Strike Global Offensive, dan platform distribusi konten digital Origin, termasuk juga penggunaan PayPal.

Wajar sih, jika kebijakan ini mendapat respons cepat dari warganet. Soalnya kan pengguna internet di Indonesia jumlahnya sangat fantastis. Belum lagi pengguna internet untuk permainan gim yang saat ini sedang marak-maraknya.

Sebagai contoh, data yang dirilis oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menyatakan bahwa sejak pandemic, pengguna internet di Indonesia melonjak menembus angka 210 juta, artinya 77 persen kita pengguna internet loh.

Judi Boleh, Main Game Dilarang?

Jika kita menelisik sedikit tentang fenomena pemblokiran Kominfo, maka terkesan kebijakan ini bersifat paradoksal. Harusnya dengan semakin besarnya pengguna internet, maka kebijakan yang dikeluarkan harus mempermudah bukannya memblokir.

Apalagi muncul kesan Kominfo tebang pilih dalam melakukan pemblokiran. Pasalnya, penyedia gim dilarang, tapi terhadap konten-konten melanggar hukum, seperti situs judi online masih bisa diakses.

Polemik PSE ini juga melebar sampai pada aksi teror meneror. Seperti yang dialami oleh komika Arie Kriting, yang mengaku WhatsApp-nya diretas dan diteror oleh orang tak dikenal.

Sebelumnya, Arie diketahui juga ikut mengkritik tindakan Kominfo soal pemblokiran sejumlah situs dan aplikasi karena belum mendaftar PSE Lingkup Privat.

Menariknya, Menkominfo Johnny G. Plate menyatakan tidak tahu-menahu adanya teror yang dialami sejumlah publik figur. Justru ia merasa bahwa Kominfo lah yang mendapat teror dari warganet di media sosial. Bisa aja nih Bapak Menteri. Hehehe.

Anyway, polemik ini dapat juga dibaca sebagai kuasa masyarakat yang punya ikatan solidaritas kuat dan seolah menjadi semacam gerakan social, tapi dalam lingkup dunia digital.

Sebenarnya fenomena ini bukan hal baru, banyak yang sudah paham kalau dunia digital mampu memupuk perspektif homogen. Hal ini yang sering kali mampu memberikan backfire effect alias efek bumerang kepada kelompok lain yang berbeda dengan mereka dalam sebuah polemik.

Apalagi, dunia digital ini dapat menjadi instrumen echo chamber atau ruang gema, yang mampu menghubungkan mereka yang merasa “sependeritaan” untuk melakukan protes.

Hmm, kalau seperti ini sih, wajar jika aksi teror meneror dapat dirasakan di dunia digital. Btw, apa perlu Kominfo nantinya membuat semacam Detasemen Khusus Anti-teror? Kominfo 88 misalnya, eh kok mirip situs slot ya? Upss. Hehehe. (I76)


Jika Singapura Dikuasai Indonesia
Exit mobile version