“Aku nggak kepikir (buat nyalon di 2024). Aku nggak punya duit, dan aku nggak kepingin”- Tri Rismaharini, Mensos
Kementerian Sosial (Kemensos) mencabut izin penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Alih-alih merespon konten dari permasalahan dari polemik ini, warganet justru mempertanyakan ketidakhadiran Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini.
Kalau diperhatikan, seperti diberitakan di banyak media, Presiden Jokowi menunjuk Muhadjir Effendy menjadi Mensos Ad Interim. Dengan segera Muhadjir mencabut izin penyelenggaran PUB yang telah diberikan kepada ACT sejak tahun 2022.
Sedikit memberikan konteks, Muhajir saat ini juga merangkap jabatan menjadi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Lalu, ke mana Risma? Mengapa ia digantikan Muhadjir Effendy?
Well, Bu Risma hilang dari peredaran karena saat ini sedang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Tapi, jika pertanyaan tadi lebih diperluas, mengapa ya belakangan ini Bu Risma sering juga absen dalam konteks politik nasional?
Seperti yang diketahui, sejak ia masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya, selain karena prestasinya, Risma juga dikenal masyarakat sebagai pejabat yang gemar marah-marah di depan publik. Ya, gaya marah-marahnya itu pun kemudian telah identik dengan diri Risma.
Buat banyak pengamat politik, drama marah-marah Risma seolah mempunyai tujuan elektoral, yaitu ingin mengerek elektabilitas melalui aksi-aksi yang menyita atensi banyak orang. Ini dibuktikan melalui hasil survei Surabaya Survey Center (SSC) yang menempatkan nama Risma di tempat kedua di bawah Prabowo, sebagai capres favorit milenial.
Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo, mengilustrasikan sikap Risma tersebut dalam konteks komunikasi politik. Ia menilai, meski aksi marah-marah Risma memunculkan berbagai tanggapan, tapi Risma tetap menjadi top of mind dari pembicaraan publik.
Popularitas Risma ini yang membuat namanya juga disebut-sebut salah satu dari tiga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memenuhi kriteria sebagai capres. Selain Ketua DPR RI yang juga putri Megawati, Puan Maharani dan Gubernur Jawa Tengah dua periode Ganjar Pranowo, nama Risma memang masuk perhitungan.
Meski demikian, posisi Risma tidaklah sepenuhnya menguntungkan. Ia seolah mendayung di antara dua karang. Karang pertama yaitu Puan yang juga sedang berseteru dengan karang lainnya, yaitu Ganjar. Ini konteksnya di internal PDIP itu sendiri.
Hmm, ngomong-ngomong mendayung di antara dua karang, ini sebenarnya meminjam istilah yang pertama kali digunakan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, untuk menggambarkan posisi Indonesia dalam politik global menghadapi perebutan pengaruh antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat.
Memang sih, sulit jadi objek yang berada di antara dua karang. Jangankan Risma, Indonesia saja pada saat itu kewalahan pada posisi politik tersebut. Makanya ada pepatah lain yang bilang: “Jangan duduk di antara dua kursi”. Jatuh cuy. Cobain aja sendiri.
Wah-wah, memang sulit ya jadi Bu Risma untuk saat ini. Pantesan, saat ditanya terkait pencalonan dirinya, ia menegaskan bahwa tidak berminat, bahkan mengungkapkan bahwa ia nggak punya duit. Hmm, jadi kalau punya duit mau nyalon dong bu? Minimal ke salon terdekat. Upsss. Hehehe. (I76)