“Ya, itu memang hobinya. Ini kan juga event besar yang langka ya,” – Endra Atmawidjaja, Juru Bicara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali menyimpan banyak cerita unik. Salah satunya yang juga sempat viral dan mendapat banyak komentar dari warganet adalah aksi Menteri PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) Basuki Hadimuljono.
Pak Bas – sapaan akrab Menteri PUPR itu – mendadak menjadi fotografer pada pelaksanaan KTT G20 tersebut. Sampai-sampai, berbagai momen lucu yang tertangkap kamera membuat warganet merespons dengan tawa yang sejadi-jadinya.
Layaknya fotografer andal, Basuki Hadimuljono begitu lihai mengambil foto dari berbagai sisi.
Dalam kolom komentar di pemberitaan, warganet menilai Pak Bas lucu dan unik. Ini karena beliau selalu bertingkah unik nan beda dengan yang lain – tentunya dengan menteri-menteri yang lain yang dianggap “agak kaku”.
Bahkan, secara kompak warganet menjuluki Pak Bas sebagai menteri meme dan menteri terkocak di kabinet pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Hehehe
Usut punya usut, rupanya fotografi bukanlah hal yang baru bagi Pak Bas. Dunia fotografi merupakan salah satu hobi menteri unik ini.
Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara (Jubir) Kementerian PUPR Endra Atmawidjaja yang menyebutkan bahwa hobi ini sering disalurkan saat Pak Bas mempunyai waktu luang – setelah menjalankan tugas resminya sebagai menteri PUPR.
Anyway, respons dengan nada positif dialamatkan kepada Pak Bas dengan berbagai aksi-aksinya yang unik. Namun, di sisi lain, banyak juga loh aksi unik para tokoh maupun elite yang malah dianggap “pencitraan” doang.
Nah, dalam literasi politik, pencitraan politik merupakan kata yang lumrah. Tentunya, hal ini dilatarbelakangi oleh semakin maraknya media yang dianggap mampu membentuk citra dan persepsi publik terhadap seseorang.
Kekuatan media menjadi magnet (daya tarik) bagi elite politik maupun partai politik. Mereka beramai-ramai memoles diri di berbagai kanal yang diberikan oleh media.
Hal ini terlihat pada media konvensional seperti televisi, radio, hingga media baru seperti YouTube dan media sosial lainnya. Tujuannya adalah tentu saja untuk membangun citra di hadapan publik dan mengarahkan opini publik.
Walter Lippman dalam bukunya Public Opinion menjelaskan bahwa citra merupakan sebuah dunia menurut persepsi seseorang. Secara khas, ia menyebutkan citra sebagai “pictures in our head” yang ingin menjelaskan gambaran tentang realitas.
Mungkin saja, pada kenyataan, apa yang tampak tidak sesuai dengan realitas. Hal ini yang menjadi alat untuk membangun opini masyarakat. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima melalui berbagai media.
Namun, pada konteks Pak Bas, citra yang didapatkan selalu sesuai dengan apa yang ingin ditampilkan. Dalam hal ini, komentar positif selalu didapatkan oleh beliau. Kemungkinan hal ini tidak lepas dari gestur “innocent” yang diperlihatkan.
Innocence atau keluguan ini ditangkap lebih alami dibandingkan apa yang ditunjukkan tokoh-tokoh lain. Tentu, kita bisa membandingkan tingkah Pak Bas ini dengan banyak pejabat yang ingin memoles citra.
Alih-alih ingin dipotret seperti kebanyakan pejabat, Pak Bas lebih memilih untuk menjadi pemotret (fotografer). Ini saja sudah kontras dengan pejabat lainnya.
Oh iya, ada satu momen tangkapan kamera yang memperlihatkan pak Bas dengan menggandeng sebuah kamera sedang berbincang dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Hmm, kira-kira apa ya yang mereka bicarakan? Jadi kebayang kalau percakapan mereka saat itu rupanya adalah pemberian saran dari Bu Sri Mulyani ke Pak Bas.
Bu Sri Mulyani mungkin bilang, “Eh, foto-foto jepretan bapak lebih baik dijadikan cuan aja.” Pak Bas dengan antusias mungkin bisa balik bertanya, “Gimana caranya, Bu?” Bu Sri Mulyani kembali menjawab, “Jadi, bapak jejerin aja di pintu keluar. Nanti pasti ada yang nanyain. Kan, lumayan.” Hehehe. (I76)