Perbedaan dukungan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri berakibat pada renggangnya hubungan keduanya. Lantas, seperti apa perbedaan pilihan dukungan tersebut?
Santer terdengar hubungan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri disebut merenggang. Penilaian ini muncul karena dalam beberapa pertemuan yang dihadiri Jokowi justru tidak dihadiri oleh Megawati, dan sebaliknya. Misalnya pada pernikahan adik Jokowi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, menilai fenomena tidak saling hadir tersebut sebagai tanda terjadinya perceraian politik antara Megawati dengan Jokowi. Menurutnya, akar persoalannya berasal dari dukung mendukung figur yang akan diusung sebagai calon presiden (capres) pada Pilpres 2024 mendatang.
Hmm, berarti bisa dibilang ada dua keinginan atau mimpi yang berbeda antara Jokowi dan Megawati. Apakah mungkin mimpi Jokowi yang dimaksud adalah mimpi untuk mencalonkan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo, sedangkan mimpi Megawati mencalonkan Ketua DPR RI Puan Maharani?
Bicara soal mimpi yang berbeda, jadi teringat serial Layangan Putus nih. Serial yang disutradarai oleh Benni Setiawan ini sempat viral dan menghipnotis warganet kita loh. Kalo kita simak, pemaknaan mimpi dalam serial Layangan Putus salah satunya adalah suatu pertanda akan kehilangan seseorang yang dicintai, ya semacam perpisahan gitu lah.
Layangan putus juga banyak dikaitkan dengan kisah rumah tangga yang sudah diujung tanduk atau sedang mengalami keretakan. Kalo ini sih relate banget dengan yang terjadi saat ini pada PDIP. Karena ada mimpi yang berbeda antara Jokowi dan Megawati, seolah pula rumah bear partai banteng mulai retak.
Padahal dalam kehidupan sehari-hari, bermain layang-layang sendiri disimbolkan sebagai kebebasan dan sesuatu yang menyenangkan. Ilustrasi ini juga mirip dengan politik yang menampilkan perjuangan tentang kebebasan untuk memilih dan harusnya berujung pada kebahagiaan.
Mungkin itu politik yang ideal, sedangkan dalam realitasnya, politik tidak lepas dari konflik karena benturan kepentingan. Jika merujuk pada buku Martin Lipset Stein Rokkan yang berjudul Party Systems and Voter Alignments, disebutkan terdapat relasi antara konflik internal partai politik (parpol) dengan risiko turunnya daya elektoral parpol.
Meskipun konflik telah inheren dalam dinamika kepartaian sejak lama, namun mitigasi risiko mesti dipikirkan agar efek sampingnya tidak terlampaui destruktif. Sehingga, korelasi antara konflik internal parpol dengan risiko elektoral layak ditimbang untuk diminimalisir.
Ketakutan lebih besar ini yang mungkin dipikirkan oleh berbagai pihak. Ini misalnya terlihat dari pernyataan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung yang membantah dan menyebut hubungan Jokowi baik dengan Megawati, maupun dengan Ketua DPR RI Puan Maharani.
Bahkan, PDIP menginformasikan dalam waktu dekat rencananya ada sejumlah acara yang akan dihadiri Megawati dan Jokowi. Boleh juga ditiru cara-cara seperti ini oleh parpol lain yang sedang mengalami konflik yang sama.
Well, semoga saja agenda yang didesain oleh kader-kader PDIP bukan hanya mempertemukan secara fisik Jokowi dengan Megawati, melainkan juga mempertemukan mimpi-mimpi yang dianggap berbeda itu. (I76)