Site icon PinterPolitik.com

Messi Juara 2022 Berkat Indonesia?

Messi Juara 2022 Berkat Indonesia?

Lionel Messi menerima trofi Piala Dunia dari President FIFA, Gianni Infantino, didampingi Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani. (Foto: The Guardian)

Sebagai bentuk dukungan terhadap tim, saya kira sesuatu yang wajar kalau kita ekspresikan di laman medsos kita. Jadi, lebih pada karena memang sejak awal saya ini pendukung Argentina,” – Abdul Kadir Karding, Anggota DPR Fraksi PKB 


PinterPolitik.com

Sorak-sorai kemenangan tim nasional sepak bola Argentina pada laga final Piala Dunia 2022 di Qatar tidak hanya dirayakan para pecinta sepak bola di Argentina. Euforia ini menjalar kepada para pecinta sepak bola di seluruh dunia.

Bahkan, kebahagiaan kemenangan Argentina atas Prancis itu juga dirayakan oleh beberapa politisi tanah air. Sebut saja Anggota DPR RI Fraksi PKB Abdul Kadir Karding yang membuat poster ucapan selamat atas kemenangan Argentina.

Untuk poster Abdul Kadir Karding, foto dirinya dan foto Lionel Messi, kapten Argentina, bersanding. Ukuran foto Karding dan foto Messi hampir sama besar.

Sontak bermunculan respons dari para warganet, yang melihat ucapan selamat untuk tim nasional (timnas) Argentina itu terkesan berlebihan. Bahkan, ada yang mempertanyakan relevansi bahkan kontribusi para politisi terhadap kemenangan Argentina.

Merespons hal tersebut, Karding buka suara soal posternya yang jadi sorotan ini. Ia menjelaskan kalau dirinya sudah menjadi pendukung Argentina sejak legenda Maradona dan Batistuta aktif menunjukkan kebolehannya di lapangan hijau.

Menurutnya, poster yang diunggah itu semata untuk mengekspresikan rasa senangnya atas kemenangan skuad La Albiceleste – sebutan khusus untuk timnas Argentina.

Messi Cs Juara, Argentina Banjir Selamat

Oh, iya, sedikit memberikan informasi, di balik semua euforia kemenangan yang dicapai, Argentina rupanya menyimpan sisi gelap dalam konteks politik. Saat ini, Argentina mengalami krisis ekonomi dengan inflasi mencapai 88 persen.

Kondisi ini seolah membenarkan konsep dramaturgi Ervin Goffman. Dalam bukunya Presentation of Self in Everyday Life, Goffman menyatakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia.

Dalam konteks Argentina, kebahagiaan muncul di panggung depan untuk memperlihatkan citra. Sementara, panggung belakang memperlihatkan keadaan sesungguhnya yang bisa saja “memilukan”.

Jika Argentina berupaya menampilkan citra positif dan menyembunyikan krisis ekonomi yang dialami mereka, maka, untuk politisi yang memasang baliho, bisa jadi kurang lebih mirip.

Para politisi itu bukanlah menampilkan citra melainkan mencoba “mendompleng” citra dari momentum yang terjadi. Berbagai cara ditempuh para politisi untuk merebut simpati dan dukungan masyarakat luas. Bahkan, bisa saja “apapun” akan dilakukan hanya untuk dapat memberi garansi naiknya popularitas mereka secara instan.

Dalam kasus baliho, setidaknya ada dua manfaat baliho konvensional yang dipasang dalam jangka waktu yang lama, yaitu efek repetisi dan brain recognition. Hal ini disebabkan karena selalu berulang dilihat, yang akhirnya membentuk citra tersendiri.

Direktur Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menilai perilaku aktor politik semacam ini sulit mendapat dukungan kuat dari para pemilih. Selain persoalan proses yang instan, ia melihat muncul anggapan kalau para politisi di baliho itu hanyalah praktik narsistik semata.

Kritik Burhanuddin ini bisa dipahami sebagai kritik yang membangun budaya politik kita di Indonesia. Hmmm, coba deh kita bandingkan baliho-baliho politisi di Indonesia dengan baliho-baliho politisi di Amerika Serikat (AS) atau negara-negara Amerika Latin. Berbeda dengan Indonesia, di sana baliho mereka didominasi ide atau visi politik ketimbang foto atau figur politisi.

Mungkin, inilah saatnya politisi kita perlu mengubah budaya politik dalam konteks memperkenalkan diri. Jangan sampai ada kesan untuk memperkenalkan diri saja – seolah ini numpang tenar (aji mumpung).

By the way, bicara soal mencari popularitas dengan cara numpang tenar atau dengan cara instan, mengingatkan kita pada film Follow Me (2021) karya sutradara Will Wernick. Film ini mengisahkan seorang vlogger bernama Cole Turner yang diperankan oleh Keegan Allen yang punya sebuah kanal YouTube dengan jutaan pengikut.

Fast forward, Allen berupaya untuk mendapatkan pengikut dan mendompleng popularitasnya di media sosial (medsos). Sering kali ,dalam upaya meraih hal tersebut, ia merasa tidak perlu melahirkan konten yang punya nilai, melainkan berfokus bagaimana mendapatkan atensi para pengikutnya.

Tentu, hal semacam ini menjadi persoalan, apalagi jika sandingkan dengan politik. Politisi terkesan lebih sibuk membangun citra daripada bersaing dalam mencari visi dan misi yang matang untuk menyejahterakan rakyat yang akan dipimpinnya kelak.

Sebagai penutup, sekiranya tidak perlu sampai mengedit foto sendiri, lalu disejajarkan di samping pemain ternama seperti Messi. Munculnya gaya berpolitik semacam itu akhirnya juga akan melahirkan sistem politik yang bersifat artifisial. Uppss. Hehehe. (I76)


Selat Malaka: Kunci Indonesia Hancurkan Tiongkok?
Exit mobile version