Site icon PinterPolitik.com

Menilik “Arogansi” Cak Imin

menilik arogansi cak imin

Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. (Foto: Istimewa)

Baru-baru ini, Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa Ketum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf tidak memiliki andil signifikan bagi PKB. Tepatkah pernyataan dari Cak Imin tersebut?


PinterPolitik.com

Apa yang terlintas di pikiran kamu saat melihat orang yang arogan? Pastinya kamu merasa kesal dan jengkel bukan? Tak ayal, saking jengkelnya, malahan kamu ingin agar dia mendapatkan balasan yang setimpal atas perlakuannya.

Bak sebuah serial televisi populer seperti Azab dan Hidayah yang sempat menghebohkan netizen, pesan moral dari dua serial tersebut yakni menggambarkan orang yang arogan, sombong, serta congkak mendapatkan ganjaran ataupun petunjuk atas perbuatannya.

Nyatanya, tidak jauh berbeda dari masyarakat pada umumnya, politisi senior sekelas Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin pun tidak luput dari sifat arogan lho. Belakangan ini, Cak Imin menyinggung soal Ketum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yakni Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya, yang dianggap tidak memiliki peran berarti bagi elektabilitas partainya.

Sontak, pernyataan tersebut mendapatkan respons balasan dari pihak PBNU. Tidak lama waktu berselang, Ketua PBNU Ishfah Abidal Aziz langsung merespons Cak Imin dengan menyebut beliau sebagai sosok yang arogan. 

Seperti pepatah awam mengatakan, “seperti kacang yang lupa akan kulitnya,” Cak Imin dituding lupa serta abai terhadap peran dan kontribusi PBNU bagi perjalanan politik PKB.
Justru, menurut Ishfah, PKB lah yang tidak memiliki timbal balik yang setimpal bagi NU.

Dalam melihat polemik antara dua pihak yang saling dingin – PKB vs PBNU – dapat dirujuk pada buku karya Firman Noor yang berjudul Perpecahan dan Solidaritas Partai Islam di Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Dekade Awal Reformasi. Dalam buku itu, disebutkan ihwal pendirian PKB secara historis tidak luput dari NU dan juga gerakan kaum Nahdliyin untuk mendirikan sebuah partai politik menjadi usul mereka terhadap PBNU. 

Tuntutan kaum Nahdliyin tersebut akhirnya difasilitasi oleh PBNU – dengan keyakinan bahwa fasilitasi tersebut tanpa harus mengubah struktur PBNU menjadi sebuah partai. Hal tersebut merupakan fondasi dari berdirinya PKB yang keanggotaannya berasal dari kalangan Nahdiyin.

Tentu, dari sini dapat kita lihat bahwa PKB tidak lepas dari tonggak perjuangan NU, begitupun sebaliknya. Namun, bila coba kita ulik kembali terkait pola pikir Cak Imin yang disebut arogan, akan tampak suatu kecenderungan kepemimpinan seorang pemimpin sebuah partai politik yang notabene partai Islam.

Menurut Lili Romli dalam salah satu tulisannya Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia disebutkan bahwa terdapat kecenderungan di tengah elite partai politik Islam terhadap jebakan mitos politik kuantitas — keyakinan bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam akan berbanding lurus dengan sikap pilihannya sehingga dengan serta-merta mereka akan memilih partai Islam. 

Melihat framing terhadap sikap Cak Imin, hal tersebut tentu dapat menjadi titik lemah bagi PKB dan juga dirinya. Kendati di suasana sekarang yang kebetulan masih di momentum Idul Fitri, wong bukannya saling maaf-maafan dan silaturahmi toh malah mencari keributan baru.

Hal ini dapat jadi peringatan kuat bagi seorang alim sekelas Cak Imin. Ia harus dapat mewanti-wanti kemungkinan basis pendukungnya hilang hanya karena sifat arogan yang dialamatkan ke dirinya.

Ketimbang saling ribut satu sama lain di momen lebaran kini, mending para elite kita semua berkumpul bersama sanak keluarga mereka sambil nonton serial Azab. Barangkali akan dapat menyadarkan atas sifat arogan mereka selama ini. (Y79)


Exit mobile version