Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan untuk tidak menggunakan data kematian Covid-19 secara sementara dikritik oleh banyak pihak.
Belajar adalah makananku sehari-hari. Setiap tugas sekolah yang aku dapatkan selalu kukerjakan dengan giat. Bukan masalah juga bagiku kalau aku tidak bisa memenuhi apa yang biasa disebut sebagai study-life balance. Anggap saja aku sebagai seorang studyholic alias orang yang gila belajar.
Entah itu matematika, fisika, kimia, biologi, sejarah, hingga pelajaran-pelajaran bahasa, semua kusantap habis dengan lahap – khususnya pelajaran ekonomi dan investasi yang menjadi favoritku. Tidak hanya tugas sekolah, aku juga aktif dalam berbagai kegiatan non-akademis. Setiap persoalan – baik dari teman-temanku maupun dari pihak sekolah – pun dipercayakan kepadaku.
Ketika Sumadi tidak masuk karena sakit, misalnya, aku siap membantunya dengan mengerjakan tugas-tugasnya sebagai pengurus kelas. Tidak hanya itu, ketika Edhy diskors karena makan duit kelas, aku juga yang akhirnya mengambil perannya. Aku adalah satu jawaban untuk semua persoalan.
Namun, semua berubah ketika aku diberi satu tugas oleh guruku yang bernama Pak Joko. Tugasnya adalah membuat laporan atas setiap bab – dari bab α (alpha) hingga bab ω (omega) – yang telah kami pelajari di kelas. Setiap minggunya, laporan baru harus dikumpulkan sehingga dapat dibahas bersama di kelas.
Kami pun dibagi ke dalam sejumlah kelompok. Di kelompokku, ada teman-temanku yang bernama Angga, Erik, Budi, Riris, Ani, Fendi, dan lain-lain. Sebenarnya, bukan pilihanku juga untuk berada di satu kelompok dengan mereka. Namun, Pak Joko berujar, “Hut, kamu bimbing teman-temanmu ini ya. Menurut saya, kamu cocok untuk diberi amanat ini.”
Baca Juga: Epic Rap Battle: Luhut vs SBY?
Awalnya, aku optimis. “Apa sih yang aku nggak bisa?” ujarku dalam hati. Dalam setiap diskusi, kawan-kawanku ini selalu berharap akulah yang memulai mengerjakan. Ya iyalah, siapa lagi yang paling dipercaya sama Pak Joko?
Namun, berbeda dengan tugas-tugas yang biasa kukerjakan, ada satu bab yang lebih berat daripada biasanya. Bab itu adalah bab δ (delta). Laporan kami akhirnya tidak tersusun rapi dan berantakan. Alhasil, nilai yang kami dapatkan pun bukanlah nilai yang sempurna. Aku pun bertanya dalam hati, “Apa perlu ya aku belajar ke senior Mbak Mega yang tidak kusukai?”
Terlepas dari persoalan Mbak Mega, aku pun tetap tidak ingin mengabarkan hasilnya pada kedua orang tuaku, yakni Bu Masya dan Pak Rakat. Aku yang terinspirasi dengan taktik Nobita di kartun Doraemon akhirnya menyembunyikan lembaran nilaiku di laci mejaku.
“Tenang, Bu Masya dan Pak Rakat bakal tahu hasil akhirnya juga kok di raporku. Selama nilai di bab lainnya baik dan rapi, Bu Masya dan Pak Rakat bakal tetap bangga denganku,” ucap batinku yang gelisah sambil mengambil keputusan tersebut. Namun, aku teringat dengan nasib Nobita. Dia selalu gagal menyembunyikan lembaran-lembaran nilainya.
Aku yang takut kalau Bu Masya dan Pak Rakat menemukannya suatu hari nanti akhirnya memutuskan untuk terbuka pada mereka. Namun, aku dibuat kaget oleh nasihat mereka – meskipun juga sambil dimarahi. Kata mereka, “Lagipula, kegagalan adalah bagian dari proses, asal kita mau jujur dan belajar darinya.” (A43)
Baca Juga: Lord Luhut vs Madam Megawati
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.