“Kita saling menghargai semuanya sehingga harapan itu belum bisa terpenuhi besok karena partai itu kan punya mekanisme sendiri-sendiri yang harus dibicarakan bersama-sama” – Ahmad Ali, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai NasDem
Mungkin, dari sebagian kita selalu bertanya, “Kenapa setiap yang direncanakan kok sering kali gagal ya?” Pertanyaan semacam ini menghantui kita dalam melakukan suatu kegiatan yang ingin dilaksanakan sesuai harapan.
Padahal, kerap harapan malah berseberangan dengan kenyataan. Dan, pada akhirnya kita dengan putus asa berucap, “Malah yang tidak direncanakan, sangat berpeluang untuk terlaksana.”
Nah, kejadian serupa mungkin yang saat ini sedang dialami oleh Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS. Sedianya, ketiga partai ini akan mendeklarasikan koalisi pada 10 November 2022 yang bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, dan juga sehari sebelum ulang tahun NasDem.
Namun, rencana tinggal rencana. Hal ini dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai NasDem Ahmad Ali yang mengatakan jadwal deklarasi koalisi NasDem, Demokrat, dan PKS bakal mundur.
Ali mengklaim awalnya usulan deklarasi pada 10 November memang berasal dari NasDem. Kendati demikian, dia menyebut bahwa koalisi tidak bisa didasarkan atas kehendak sendiri, melainkan kehendak bersama.
Oleh karena itu, perlu adanya ruang bagi Demokrat dan PKS untuk menyelesaikan secara internal pengambilan keputusan untuk koalisi bersama NasDem ini.
Seperti yang diketahui, pengambilan keputusan politik PKS ditentukan melalui Musyawarah Majelis Syura. Sementara, Demokrat punya mekanismenya sendiri melalui Majelis Tinggi Partai.
Anyway, alasan belum rampungnya komunikasi internal Demokrat dan PKS ini tidak serta merta diterima oleh publik loh. Sebagian orang berpikir ada kemungkinan perpecahan yang terjadi akibat belum rampungnya negosiasi soal siapa yang akan menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) pendamping Anies Baswedan.
Hal ini wajar. Dalam politik, sering kali apa yang terjadi di panggung depan selalu berbeda dengan panggung belakang. Erving Goffman mengistilahkan konsep ini sebagai dramaturgi.
Dalam melihat konteks NasDem di atas, terbuka kemungkinan kalau fokus pendekatan dramaturgi menjadi pisau analisis – bukan untuk melihat apa yang ingin mereka lakukan atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya.
Goffman menyebut tindakan ini dalam istilah impression management. Sederhananya, teori ini berupaya mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama – menempatkan suatu fokus kritik pada adegan-adegan yang diperlihatkan pemain.
Artinya, di panggung belakang, mungkin saja ada alternatif adegan yang sebenarnya sengaja dikaburkan dan membiarkan dugaan penonton tentang adegan yang berbeda berkembang luas.
Dalam konteks ini, dugaan keretakan ketiga partai ini mungkin sengaja dipelihara untuk mengaburkan sesuatu yang mungkin lebih strategis. Lantas, apa alternatif drama yang disembunyikan oleh NasDem, Demokrat, dan PKS?
Kita harus dapat membaca di balik peristiwa yang saat ini sedang berkembang, yaitu kemungkinan kalau semakin terburu-buru makan akan semakin mudah untuk diserang oleh pihak-pihak luar yang menjadi “lawan” politik tiga partai ini.
Ilmuwan politik bernama Harold D. Lasswell memberikan definisi klasik tentang politik, yaitu “siapa mendapatkan apa dan bagaimana”. Kata “bagaimana” ini bisa diterjemahkan sebagai siasat untuk mendapatkannya.
Sepertinya, ditundanya agenda deklarasi koalisi kemungkinan berkaitan dengan siasat untuk mengulur waktu, yakni siasat untuk melihat partai-partai di luar ketiga partai ini melakukan akrobat politiknya.
Menurut Laswell, akhir dari politik dapat diibaratkan sebuah permainan. Ada yang menang besar. Ada yang menang sebagian. Ada juga yang kalah dan hancur.
Setiap pemain tentunya ingin menjadi pemenang sehingga wajar untuk memilih waktu yang pas untuk bertindak. Tidak terburu-buru dan menggunakan waktu yang tepat merupakan bagian dari siasat kemenangan itu.
Ngomong-ngomong tentang siasat mengulur waktu, ini mirip loh dengan strategi dalam permainan MOBA. Sering kali para, pemain menyebutnya dengan istilah stagger kill.
Dengan strategi ini, biasanya lawan harus menunggu untuk mengatur serangan dan menghabiskan waktu mereka yang berharga.
Hmm, jika benar ditundanya deklarasi tiga partai ini hanya untuk mengulur waktu, bisa jadi usulan ini datang dari para kader Milenial dan Generasi Z dari ketiga partai tersebut. Soalnya, kan, mereka yang juga gemar bermain MOBA.
Semoga saja jangan kelamaan ulur waktunya. Takutnya, permainannya terlanjur usai tuh. Hehehe. (I76)