HomeCelotehMencari Senyum di 2020

Mencari Senyum di 2020

“When I see you smile I can face the world, you know I can do anything,” – Bad English, When I See You Smile


PinterPolitik.com

Halo, saya Harish Heryadi, asisten redaktur di Pinterpolitik.com. Iya, Harish yang itu, yang disuruh senyum oleh Pandji Pragiwaksono di video wawancara Pinterpolitik.

Mungkin, saya  tak bisa tersenyum meski diminta Pandji karena saya terlalu dingin dan kaku. Mungkin juga saya tak bisa melempar senyum karena terlalu gugup bertemu seorang bintang sekelas Pandji.

Terlepas dari itu, tahun 2019 boleh jadi adalah tahun yang tak bisa membuat banyak orang memasang senyum mereka. Tahun yang kerap disebut sebagai tahun politik ini memang penuh dinamika yang dalam beberapa kasus terasa amat berat.

Senyum ini meski sepertinya sepele, sebenarnya dapat memiliki arti penting. Daniel Gilbert, profesor psikologi di Harvard University misalnya mengungkapkan bahwa kebahagiaan dapat diukur melalui aktivitas ‘otot-otot senyum’ di wajah.

Tentu, di tahun 2019 kita mungkin bisa tersenyum saat disuguhkan aksi-aksi peserta Pilpres di panggung debat. Dari tarian Prabowo Subianto hingga KTP Sandiaga Uno, dari unicorn Jokowi hingga 10 years challenge Ma’ruf Amin dapat menjadi hal menarik dan menyenangkan masing-masing pendukung mereka.

Meski demikian, hal itu tentu tidak menutupi fakta bahwa ada dinamika tahun politik yang dirasa begitu memberatkan.

Pada 21-23 Mei 2019 misalnya, sulit untuk menemukan senyum semringah di kawasan Thamrin, Jakarta. Kala itu, sejumlah orang turun ke jalan untuk mengekspresikan penolakan mereka kepada hasil Pilpres 2019 yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Yang menarik perhatian masyarakat lebih luas boleh jadi adalah rangkaian kejadian yang terjadi di bulan September 2019. Pada 17 September 2019, DPR RI resmi mengetok palu di rapat paripurna sebagai pertanda bahwa rancangan revisi Undang-Undang (UU) KPK diloloskan menjadi UU.

Sejak saat itu, senyum  masyarakat khususnya para aktivis dan mahasiswa sudah semakin langka. Hal itu kemudian ditambah lagi dengan masih adanya RUU problematik lain seperti RKUHP yang masih dikejar DPR untuk disahkan meski penuh kontroversi.

Kondisi tersebut kemudian membuat banyak elemen masyarakat boro-boro bisa melempar senyum,  yang ada hanyalah rasa geram. Rasa kesal yang membuncah boleh jadi membuat Ketua BEM UI kemudian melontarkan mosi tidak percaya kepada DPR yang ia sebut sebagai Dewan Pengkhianat Rakyat.

Masa tanpa senyum itu kemudian mencapai kulminasinya pada 23-25 September 2019. Kawasan DPR RI Senayan dibuat menjadi lautan manusia berjaket almamater karena mahasiswa melakukan demonstrasi menuntut pembatalan sejumlah RUU yang tengah digulirkan DPR.

Tak hanya di ibu kota, aksi serupa di daerah-daerah seperti Gejayan Memanggil di Yogyakarta juga membangunkan kembali gairah mahasiswa untuk turun ke jalan setelah lama sekali tertidur.

Seketika, senyum dapat kembali ditemui melihat fenomena tersebut. Mahasiswa dan generasi muda yang dianggap apatis ternyata masih sangat sadar dan peduli akan kondisi sosial politik yang ada di negeri ini. Beberapa orang bahkan menjadi sangat optimis melihat gairah anak muda untuk memperjuangkan isu yang sangat krusial.

Tentu,  senyum juga terlempar karena melihat  tulisan-tulisan nakal mahasiswa di poster aksi mereka. Tapi, itu mungkin semangat zaman mereka, berdemonstrasi tetap harus dinikmati meski tak lupa akan esensi.

Meski demikian, senyum itu hilang dalam waktu seketika. Penanganan aparat di hari-hari demonstrasi itu jadi hal yang dipersoalkan banyak pihak. Beberapa media misalnya sempat mengalami kekerasan saat melaksanakan kerja jurnalisme mereka. Kekerasan kepada peserta aksi juga menjadi potret menyedihkan dari salah satu aksi terbesar dalam beberapa tahun terakhir itu.

Senyum akhirnya menjadi benar-benar sirna ketika mengetahui ada dua mahasiswa yang  diterjang timah panas aparat keamanan. Yusuf dan Randi harus gugur dalam rangkaian aksi itu saat ikut aksi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Tak ada senyum akibat hal itu, hanya ada air mata.

Mungkin, air mata semakin mengalir deras ketika mengetahui bahwa para pejabat pemerintah  tak sepenuhnya menerima tuntutan mahasiswa meski darah telah tertumpah. UU KPK baru misalnya tetap jalan terus meski banyak yang meminta Perppu. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, jadi senyum yang berganti darah dan air mata itu untuk apa?

Rangkaian hal tersebut mungkin membuat banyak orang tak terlalu optimis dalam memandang tahun 2020. Meski demikian,  hal itu bukan berarti tak ada yang sama sekali bisa dilakukan masyarakat.

Masyarakat tetap perlu mengawasi jalannya pemerintahan di tahun-tahun mendatang. Tak hanya itu, kami juga selaku media tetap perlu menjadi bagian penting bagi demokrasi untuk memberi tahu ketika ada yang melenceng di negeri ini. Bersama-sama, kita bisa berupaya sedikit demi sedikit untuk mengembalikan senyum di tahun 2020 dan seterusnya.

Pada akhirnya, terima kasih kami haturkan kepada para pembaca situs, pengikut media sosial, dan penonton video Pinterpolitik.com. Kami di sini sangat senang bisa terus menghadirkan cara yang berbeda dalam memaparkan kondisi politik negeri ini.

Kami juga banyak tersenyum mengetahui kami mulai punya banyak pembaca. Secara khusus, kami juga sangat berbahagia mengetahui banyak pembaca yang mengambil banyak manfaat dari konten-konten yang kami sajikan. Kami mengucapkan terima kasih untuk itu.

Beberapa kata dari netizen membuat kami banyak tersenyum. Ada senyum bahagia, ada juga senyum kecut karena komentar yang sangat menusuk. Apapun itu, kami jadikan kata-kata netizen sebagai sarana kami untuk terus bertumbuh menjadi  media  yang dapat mengena  di masyarakat.

Sekali lagi, kami haturkan kepada para pembaca, pengikut, dan penonton Pinterpolitik. Semoga kita semua bisa sama-sama bisa memastikan ada banyak senyum di 2020 nanti. Selamat tahun baru! (H33)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...