“Itu ada dua cucu saya. Ayo berdiri coba nih. Ayo jangan malu. Nih, noh, ini putra-putrinya Mbak Puan. Mereka kenapa mau ikut? Karena katanya, ‘mau tahu, ah, kalau masuk politik itu gimana. Nanti boleh enggak?’” – Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum (Ketum) PDIP
Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) PDIP ke 50 di JIExpo Kemayoran suah berakhir. Namun, cerita yang tersisa rupanya masih diperbincangkan hingga saat ini. Selain teguran Megawati ke Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang jadi sorotan, ada juga momen ketika Megawati perkenalkan cucu yang rupanya dapat atensi publik.
Kedua cucu yang dimaksud adalah Diah Pikatan Orissa Putri Hapsari dan Praba Diwangkara Caraka Putra Soma. Mereka adalah putra dan putri dari Ketua DPP PDIP Puan Maharani.
Awalnya, Megawati menceritakan persoalan perempuan di era sekarang yang menurutnya hanya mementingkan urusan kecantikan semata tanpa memperhatikan kecerdasannya.
Di sela-sela momen itulah, Megawati memperkenalkan kedua cucunya di hadapan para kader PDIP. Megawati mengatakan kalau cucunya mau ikut acara HUT PDIP karena mau tahu tentang politik.
Anyway, begitulah pola komunikasi yang dibangun oleh Megawati saat berpidato, sering “ceplas-ceplos” dan terkesan berbicara apa adanya. Namun, apakah sikap perkenalkan cucu ini bisa ditafsirkan secara positif oleh publik?
Tentu, memperkenalkan keluarga dan mengajak ikut terlibat dalam politik akan punya kesan negatif. Hal ini tidak lepas dari cara pandang yang bernada negatif ketika melihat adanya kesan dinasti dalam struktur politik.
Hal ini sebenarnya sudah menjadi opini umum yang masif. Banyak kasus politik dinasti terjadi di Indonesia bukan saja pada level pusat, tetapi juga sudah merambah pada level daerah.
Sistem politik dinasti sebenarnya bukan yang pertama terjadi di Indonesia. Semenjak era Presiden Soekarno hingga era Joko Widodo (Jokowi), banyak sistem perpolitikan dinasti ditemui.
Pada dasarnya, sistem dinasti politik adalah merupakan strategi politik yang dibuat ataupun dibangun untuk memperoleh kekuasaan.
Amalia Syauket dalam bukunya Membangun Dinasti Politik Oligarki yang Korup menerangkan kalau dinasti politik bagian dari strategi untuk seorang politisi mewariskan kekuasaan kepada keturunan ataupun keluarga.
Persoalan dinasti ini tidak akan bermasalah jika, secara “kebetulan”, generasi pemilik kekuasaan merupakan generasi yang memang kompeten dan mumpuni. Boleh jadi, sistem perpolitikan dinasti akan sangat membantu.
Persoalannya adalah seberapa intens proses kaderisasi politik dalam keluarga elite politik. Apakah para elite politik itu memberikan perhatian khusus kepada keluarganya melalui pendidikan politik – seperti kepemimpinan, etika berorganisasi, dan sebagainya.
By the way, persoalan dinasti politik jika ditafsirkan sebagai strategi politik mungkin tidak jadi persoalan karena masalahnya terletak pada tafsir yang menyebutkan kalau dinasti politik sangat erat kaitannya dengan nepotisme.
Sedikit memberikan konteks, istilah nepotisme berasal dari bahasa Latin, yaitu nepos yang artinya keponakan atau cucu. Dalam berbagai literasi ilmu sosial, nepotisme diartikan sebagai kecenderungan lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya, bukan berdasarkan kemampuannya.
Hmm, jadi kepikiran kalau memperkenalkan cucu ala Megawati ini bisa nggak sih ditafsirkan sebagai bentuk sayang seorang nenek kepada cucu? Biasanya, dalam kehidupan sehari-hari, seorang kakek atau nenek pastinya lebih sayang cucu dibanding ayah atau ibu anak itu sendiri.
Well, saat itu, untungnya permintaan cucu untuk hadir ke HUT PDIP karena ingin tahu tentang politik. Hmm, kalau permintaan cucu ingin neneknya jadi presiden (lagi) di 2024, diturutin enggak ya? Uppsss. Hehehe. (I76)