“Ganti direktur bisa tanpa kasih tahu saya. Saya sempat marah-marah juga. Direksi-direksi semua mainnya lobi ke menteri karena yang menentukan itu menteri”. – Basuki Tjahaja Purnama, Komisaris Utama Pertamina
Nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memang masih menjadi magnet pemberitaan nasional. Bukan tanpa alasan, Ahok yang kini duduk sebagai Komisaris Utama Pertamina memang masih menjadi tokoh yang populer.
Apalagi, sepertinya karakter kepemimpinannya seperti saat menjabat sebagai Wakil Gubernur dan kemudian Gubernur DKI Jakarta masih terbawa hingga saat ini. Doi kan emang terkenal keras, ceplas-ceplos dan – maaf ya Pak Ahok hehehe – sering terlihat marah-marah.
Itu adalah ciri khas Pak Ahok, ibaratnya Ronaldinho yang terkenal dengan teknik elastico yang membelokkan bola saat menggocek lawan, marah-marah adalah signature move alias gerakan andalannya Pak Ahok.
Yang terbaru, Ahok mengungkapkan ke hadapan publik terkait bagaimana dewan direksi di Pertamina yang disebutnya suka “lobi-lobi” ke menteri untuk mengamankan posisi mereka, atau bahkan ketika ingin “mengincar” jabatan lain.
Beh, politik dalam korporasi nih ye. Sadis juga ya.
Ahok juga bilang bahwa ada manipulasi gaji yang terjadi, di mana ada eks direktur anak perusahaan Pertamina yang masih mendapatkan jumlah gaji yang sama ketika sudah tidak lagi menduduki jabatannya. Ngeri-ngeri juga nih Pak Ahok buka-bukaan kartunya.
Hmm, tapi ini juga menjelaskan karakter Pak Ahok yang unstoppable alias tak bisa dihentikan. Sekalinya dirasa ada yang nggak beres, udah pasti bakal langsung cuap-cuap.
Tapi, Pak Ahok kayaknya perlu juga melihat sejarah Pertamina sebagai perusahaan yang sedari dulu sudah sarat akan muatan politiknya. Dari era Ibnu Sutowo ketika memimpin Pertamina di era kekuasaan Soeharto, hingga yang sekarang-sekarang ini, muatan politik selalu ada di Pertamina.
Bisa dibilang politik itu immovable alias tidak bisa digerakkan atau dikeluarkan dari Pertamina.
Nah, menariknya, ketika ada sesuatu yang unstoppable berbenturan dengan sesuatu yang immovable lahirlah apa yang disebut sebagai irresistible force paradox alias paradoks kekuatan yang tidak bisa dihindari.
Istilah ini sudah ada sejak era Tiongkok kuno, terutama disebutkan dalam buku filosofi kuno Han Feizi. Di situ diceritakan bahwa ada ada seorang pedagang yang menjual tombak dan tameng. Kemudian ada pembeli yang bertanya, seberapa bagus tombak yang dijual si pedagang. Ia kemudian menjawab bahwa tombaknya tersebut mampu menembus semua jenis tameng. Si pembeli kemudian bertanya seberapa bagus tameng yang dijualnya. Ia juga menjawab bahwa tameng yang dijualnya mampu menahan semua jenis tombak.
Kemudian ada pembeli lain yang bertanya apa yang akan terjadi jika tombak dan tameng yang ia jual tersebut diadu satu sama lain. Si penjual akhirnya tak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Maka lahirlah peribahasa yang berbunyi “zìxīang máodùn” yang artinya “from each-other spear shield“. Peribahasa ini disederhanakan sebagai self-contradictory.
Hmmm, semoga Pak Ahok nggak jadi self-contradictory juga di Pertamina. Nanti bakal banyak pendukung yang kecewa loh Pak. Hehehe. (S13)