Menurut Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, untuk pertama kalinya dalam sejarah terjadi hubungan yang tidak mesra antara PKB dengan PBNU. Jika ketegangan terus berlanjut, apakah Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) akan mendorong Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan PKB ke jurang kejatuhan?
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Apakah Muhammadiyah Kunci Suara PAN?, telah diulas panjang lebar bahwa warga Muhammadiyah bukanlah kunci suara Partai Amanat Nasional (PAN) di pemilihan legislatif (pileg).
Sedikit mengulang, ada dua alasan mengapa kesimpulan itu ditarik. Pertama, melihat datanya, konversi warga Muhammadiyah di berbagai provinsi – misalnya Jawa Timur (Jatim) – menjadi suara di pileg paling tinggi diperkirakan hanya sebesar 10 persen.
Kedua, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) terlihat melakukan manuver politik untuk mendekati kiai Nahdlatul Ulama (NU) dan pondok pesantren NU di Jatim. Suka atau tidak, ini jelas terbaca bahwa Zulhas sangat membutuhkan suara warga NU dan menyadari suara Muhammadiyah tidaklah cukup.
Jika analisis ini tepat, artikel itu menjadi bantahan asumsi umum publik selama ini bahwa suara PAN sangat tergantung pada Muhammadiyah.
Nah, yang menarik, kasus PAN tampaknya sangat berbeda dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Jika warga Muhammadiyah dapat dikatakan tidak berkontribusi signifikan terhadap perolehan suara PAN di pileg, maka PKB sangat membutuhkan suara Nahdliyin.
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Kenapa PAN Nekat Incar Jawa Timur?, telah diulas pembuktian data atas kesimpulan tersebut. Pada Pemilu 2019, misalnya, PKB memperoleh 4.198.551 suara di Jatim, jumlah ini hanya dilewati PDIP dengan 4.319.666 suara. Dengan total meraih 13.570.097 suara, sepertiga suara PKB disumbang oleh satu provinsi.
Sebagai catatan, Jatim adalah pusat konsentrasi warga NU dan sekaligus sebagai konsentrasi kantong suara PKB.
Nah, konteks ini sangat penting dan harus menjadi perhatian utama Muhaimin Iskandar (Cak Imin) selaku Ketua Umum PKB. Pasalnya, sejak Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU (PBNU), hubungan PKB dengan PBNU terlihat memanas.
Bahkan, menurut Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, untuk pertama kalinya dalam sejarah terjadi hubungan yang tidak mesra antara PKB dengan PBNU. Dalam berbagai kesempatan, Gus Yahya terlihat mewanti-wanti agar NU tidak lagi menjadi alat politik PKB.
Jika tensi ini terjadi antara PAN dengan Muhammadiyah, mungkin itu tidak akan berimbas signifikan pada perolehan suara di pileg. Namun, kasusnya sangat berbeda dengan PKB karena warga NU adalah kunci perolehan suara partai lebah.
Namun, kendati situasi Cak Imin terlihat sangat tidak menguntungkan, eks-Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) ini tampaknya bisa bernafas lega. Pasalnya, seperti yang diulas dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Apakah NU Penentu Pilpres?, warga NU di daerah lebih mendengar para kiainya masing-masing daripada arahan kepengurusan pusat.
Dengan demikian, untuk mendekati warga NU, caranya bukan dengan mendekati PBNU, melainkan kiai-kiai NU di daerah yang memiliki santri dan menjadi tetua di tengah masyarakat.
Artinya, meskipun Cak Imin memiliki ketegangan dengan Gus Yahya dan PBNU, asalkan bisa mengamankan dukungan di Pengurus Wilayah NU (PWNU), Pengurus Cabang (PCNU), dan kiai-kiai berpengaruh NU di daerah, perolehan suara PKB di pileg tampaknya akan tetap aman.
Sekarang, pekerjaan rumah (PR) Cak Imin adalah, apakah ia mampu menghimpun dukungan tersebut. Apalagi, tentu naif mengatakan bahwa Gus Yahya dan PBNU akan membiarkan hal itu terjadi begitu saja. (R53)