“Siap Pak Mahfud. Pusat-daerah harus sama-sama memikul tanggung jawab. Mengapa kerumunan di bandara yang sangat masif dan merugikan kesehatan/ekonomi, tidak ada pemeriksaan seperti halnya kami berkali-kali. Mengapa kepala daerah terus yang harus dimintai bertanggungjawab. Mohon maaf jika tidak berkenan”. – Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat
Kalau kalian pernah ikut organisasi kemahasiswaan di kampus, pasti kental dengan nuansa senior-junior. Hubungannya terdefinisikan dalam panggilan macam abang-adek, atau kanda-adinda. Konteks senioritas ini juga akhirnya mempengaruhi pola pergaulan, di mana senior pasti jadi lebih superior.
Bahkan, di beberapa organisasi, senior bisa “memerintahkan” juniornya untuk melakukan apapun yang ia mau, mulai dari yang masuk akal sampai yang nggak masuk akal.
Misalnya, ada senior yang nyuruh beli rokok sebungkus, tapi ngasih duit cuma Rp 5 ribu. Nah, ini tipikal suruhan yang bikin si junior mikir, apakah mau nalangin sisanya karena rokok nggak ada yang harga segitu, atau membeli yang per batang alias eceran dengan harga segitu. Pusing nggak tuh kalau jadi junior.
Baca juga: Mengupas “Khayalan Besar” Jokowi
Mungkin konteks hubungan senior-junior itu tengah terjadi juga dalam persoalan tata kelola negara, utamanya antara pemerintah pusat dengan daerah. Salah satunya yang tengah terjadi antara Menko Polhukam Mahfud MD dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Ceritanya, Ridwan Kamil memprotes ke Mahfud, mengapa dalam kasus pentolan FPI, Rizieq Shihab dan kerumunan yang ditimbulkannya, hanya para kepala daerah saja yang diperiksa oleh kepolisian. Padahal, saat penjemputan Rizieq di bandara, justru Mahfud-lah yang memberikan diskresi atau persetujuan terkait kerumunan massa yang melakukan penjemputan terhadap Rizieq tersebut.
Hmm, berasa kayak junior nih Kang Emil yang protes pada Pak Mahfud selaku senior. Singkat cerita, mereka berdua bales-balesan twit terkait persoalan tersebut – hal yang kemudian membuat banyak pihak mengkritisi konteks komunikasi yang terjadi di antara para elite pemerintahan ini.
Terlepas dari ribut-ribut ini, pernah nggak sih kalian mikir bahwasanya kasus Rizieq, Mahfud, Kang Emil, dan berbagai persoalan lain yang ada di sekitarnya, sebenarnya sengaja “dibiarkan” agar ada fokus isu di masyarakat?
Maksudnya gini loh, dengan fokus membahas soal Rizieq, ada pembelahan energi politik dan opini yang terjadi dalam diskursus di masyarakat. Masyarakat akhirnya kembali ke posisi dukung pemerintah vs anti pemerintah. Pembelahan ini penting karena pemerintah pada akhirnya masih mendapatkan jaminan adanya kubu yang masih memberikan dukungan padanya.
Masyarakat akhirnya tak harus banyak membahas soal ekonomi dan kesehatan – yang kalau dua isu ini jadi fokus utama, kelompok yang dukung pemerintah bisa berpindah sisi. Soalnya ekonomi nggak peduli soal agama, ideologi, atau pilihan politik cuy.
Kalau perut sudah lapar, yang lain akan dengan sendirinya terlupakan. Tanya tuh sama para koruptor. Uppps. Walau mereka laparnya bukan karena kekurangan, tapi karena kurang banyak. Hehehe. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.