“Kita berharap kehidupan kita tetap sejuk dan tertib” – Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam)
Tahun baru selalu diyakini sebagai awal dari sebuah harapan baru. Hal ini tidak terkecuali dalam dunia politik. Mulai dari elite sampai rakyat, pastinya punya harapan baru yang lebih baik di tahun baru 2023 ini.
Salah satunya harapan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menginginkan tahun 2023 tetap sejuk dan tertib meskipun tahun ini termasuk tahun politik jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Mahfud menyebutkan kalau bangsa Indonesia sudah bertekad dan sepaham bahwa Pemilu harus berjalan sesuai jadwal. Untuk itu, ia menekankan pentingnya agenda politik tersebut dikawal.
Harapan kadang berjalan berseberangan dengan kenyataan atau, bisa jadi, kenyataan kadang dipaksakan oleh harapan. Nah, inilah politik. Sering kali, hal yang bersifat kontradiksi menjadi senyawa di dalam dirinya.
Sudah sewajarnya jelang pesta demokrasi suasana akan semakin “panas”. Namun, kenapa Pak Mahfud maunya sejuk ya? Apakah ini karena bersinggungan dengan perannya sebagai Menko Polhukam?
Sumber persoalannya bisa kita lacak dari cara pandang tentang politik itu sendiri. Sering kali, dalam kacamata elite politik, pemilu dipandang sebagai sarana untuk menguasai sumber daya politik dan ekonomi. Pada perspektif inilah, terjadi perbedaan ekspektasi antara elite dan publik.
Supratman dalam tulisannya Sejuk Di Suhu Panas mengandaikan perbedaan pandangan elite dan publik ini dengan menekankan pada perilaku elite. Baginya, para pemimpin perlu memberi teladan bahwa 2024 merupakan pesta demokrasi, bukan perang demokrasi.
Dalam konteks Pemilu, yang dimaksud dengan perang demokrasi adalah akrobat politik yang sering kali dipertontonkan oleh para elite politik – seperti membuat narasi negatif, memainkan politik yang memecah belah, hingga mendiskreditkan lawan politik.
Tentu, nalar semacam ini yang mengubah citra Pemilu dari pesta demokrasi menjadi perang demokrasi. Dan, sepertinya, persoalan ini bukan hanya perbedaan tafsir, tapi sudah menjadi persoalan antropologis.
Hal yang sama dikemukakan oleh Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Abdul Hamid yang menilai panasnya politik Indonesia dikarenakan ada dua nalar sosial yang berseberangan.
Nalar yang pertama adalah nalar para elite dan nalar yang kedua adalah nalar publik. Hal ini dicerminkan dengan “tabiat” politik para elite yang sering kali dianggap tidak lumrah di mata publik kebanyakan.
Kalau para pemimpin – di pusat maupun daerah – mempertontonkan teladan yang buruk, maka rakyat akan lebih kacau lagi. Demikian pula sebaliknya.
Polemik semacam ini yang mungkin menjadi pemicu Mahfud menilai perlunya “kesejukan” menjelang tahun politik 2024 mendatang.
By the way, dalam sebuah pesta, seru enggak sih kalau keadaan jadi sejuk dan cenderung adem ayem? Takutnya malah mirip penggalan syair lagu Dewa 19 yang berjudul “Kosong” yang bunyinya seperti berikut:
Didalam keramaian aku masih merasa sepi
Sendiri memikirkan kamu
Kau genggam hatiku
Dan kau tuliskan namamu
Kau tulis namamu
Hmm, syair yang menggunakan majas paradoks di atas bisa jadi pesan balik untuk Mahfud. Kalau pesta tapi keadaan sejuk dan cenderung sepi, takutnya nggak ada yang bergembira. Malah, yang ada suasana membuat mereka jadi “petapa” dadakan. Ya nggak tuh? Hehe. (I76)