Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte menyampaikan permohonan maaf atas peran Belanda dalam aktivitas perbudakan di masa kolonial. Mengapa permohonan maaf Belanda ini bisa jadi hanya berakhir omong kosong?
“Oh, is it too late now to say sorry? Yeah, I know that I let you down. Is it too late to say I’m sorry now?” – Justin Bieber, “Sorry” (2015)
Kata maaf adalah kata yang paling mudah digunakan ketika kita melakukan kesalahan. Saat seseorang selingkuh, misalnya, kata maaf seakan-akan menjadi obat ramuan yang bisa menghapuskan segala rasa sakit yang ada di dalam hati.
Ujung-ujungnya, si dia malah minta putus. “Maaf, perasaanku sudah berubah,” begitu katanya. Sederhana sekali, bukan? Padahal, perihnya hati sulit kita terima.
Gampangnya sih, si dia bisa langsung saja pergi tanpa harus membawa beban apapun. Terkadang, ini juga sih yang membuat kita akhirnya susah memaafkan dan merelakan kepergiannya.
Nah, kata maaf yang ala kadarnya seperti ini nggak hanya terjadi ketika sebuah hubungan asmara berakhir, melainkan juga hubungan antarnegara – khususnya di antara negara eks-penjajah dan negara atau wilayah bekas jajahannya.
Baru-baru ini, Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte, mewakili pemerintah Belanda, menyampaikan permohonan maaf kepada negara bekas jajahan dan wilayah konstituennya – seperti Suriname, Aruba, Curaçao, hingga Indonesia – atas peran Belanda dalam aktivitas perbudakan di masa kolonial sebelum tahun 1863.
Tapi nih, dalam permintaan maaf tersebut, Belanda tidak mengumumkan rencana reparasi kepada mereka yang terdampak – meskipun kabarnya pemerintah Belanda sudah menyiapkan sejumlah uang sebesar €200 juta (Rp3,1 triliun). Ya, ditunggu ya, Meneer Rutte. Hehe.
Soalnya nih, sejumlah pakar juga menilai kalau hanya kata maaf tidaklah cukup. Bahkan, uang sebesar €200 juta dinilai juga belum bisa menutupi kolonialisme yang terjadi sekitar selama 400 tahun.
Mengacu pada tulisan Borja Martinovic, Karen Freihorst, dan Magdalena Bobowik yang berjudul To Apologize or to Compensate for Colonial Injustices?, keluarga korban terdampak dari ketidakadilan kolonial bisa saja merasa tidak cukup hanya dengan permohonan maaf. Terkadang, reparasi – baik secara emosional maupun finansial – juga dibutuhkan.
Hmm, kalau misalnya Meneer Rutte hanya meminta maaf, bukan nggak mungkin, Belanda ini jadi mirip dengan si dia yang hanya tinggal pergi dengan kata maaf saja. Padahal nih, ya, belum tentu, rasa sakit bisa hilang begitu saja dengan kata maaf.
Nah, tuh, apakah cukup hanya dengan permohonan maaf dari pemerintah Belanda saja? Ataukah perlu reparasi lanjutan – misal dengan kompensasi kepada keluarga korban dan keturunannya? Tentunya, semua kembali kepada keinginan dan kerelaan korban terdampak. (A43)