Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono – bersama kepala-kepala staf TNI – bermain peran dalam pertunjukan wayang orang bertajuk “Pandawa Boyong’.
“Wishing that heroes, they truly exist” – Britney Spears, “Oops!… I Did It Again” (2000)
Dunia sempat terancam oleh kehadiran satu makhluk yang terdiri atas komponen-komponen abiotik yang sangat kuat dan cerdas. Kecerdasannya ini membuat dirinya berpikir bahwa manusia adalah makhluk yang primitif sehingga menciptakan ketidakteraturan di muka bumi.
Akhirnya, kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) yang begitu cerdas ini berpikir bahwa saat itu adalah saat yang tepat untuk memusnahkan umat manusia dan menggantikan mereka dengan robot-robot AI – dengan tujuan untuk memperbaiki dunia.
Agar keinginannya ini terwujud, AI bernama Ultron ini akhirnya membuat sebuah rencana, yakni dengan mengangkat satu kota bernama Sokovia ke angkasa dan kemudian menjatuhkannya kembali ke muka bumi – berujung pada benturan keras yang bisa memusnahkan umat manusia.
Untung saja, para pahlawan super yang tergabung dalam Avengers hadir untuk melawan Ultron. Meski pada mulanya kesulitan, para Avengers – seperti Iron Man, Captain America, Black Widow, dan kawan-kawan lainnya – akhirnya berhasil mengalahkan Ultron.
Se-enggak-nya, begitulah jalannya alur dari film Marvel Studios yang berjudul Avengers: Age of Ultron (2015). Pola alur ini adalah pola alur yang umum dalam banyak film, yakni memunculkan pahlawan (hero) yang melawan musuh (villain) untuk mencapai tujuan besar.
Pola kisah seperti ini biasa disebut sebagai hero’s journey – artinya petualangan sang pahlawan – yang dicetuskan oleh Joseph Campbell yang merupakan seorang profesor swasta di Sarah Lawrence College.
Hmm, mengapa pola hero’s journey yang sering dipakai? Zeno E. Franco dan teman-teman penulisnya dalam tulisan mereka yang berjudul Heroism Research: A Review of Theories, Methods, Challenges, and Trends menjelaskan kalau eksistensi seorang hero bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang bahwa kejahatan dapat dilawan tanpa harus menyerah kepada kondisi dan hawa nafsu.
Mungkin, inilah kenapa akhirnya Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono – bersama kepala-kepala staf TNI – mengadakan pertunjukan wayang orang bertajuk “Pandawa Boyong” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 15 Januari 2023 kemarin.
Di kisah wayang tersebut, Listyo, Yudo, dan kawan-kawan lainnya berperan sebagai lima ksatria yang berusaha melawan Kurawa untuk memperebutkan kembali kekuasaan di Hastinapura. Tujuannya adalah untuk kembali mendapat kemerdekaan bagi para Pandawa.
Hmm, menarik sih. Dengan kisah “Pandawa Boyong” ini, TNI dan Polri bisa jadi ingin menunjukkan kalau mereka siap siaga untuk menjaga kedaulatan dan keteraturan di realm Indonesia ini.
Namun, Pak Listyo dan Pak Yudo juga perlu hati-hati nih. Pasalnya, udah bukan jadi rahasia lagi kalau TNI dan Polri punya hubungan panas-dingin seiring berjalannya waktu – meski kebanyakan terjadi di tingkat bawah.
Seperti yang dijelaskan oleh Samuel P. Huntington dalam tulisannya yang berjudul Interservice Competition and the Political Roles of the Armed Services, salah satu penyebab rivalitas antar-kesatuan seperti ini biasa terjadi karena perebutan anggaran dan peran politik.
Menariknya, dalam kisah seperti Mahabharata sendiri, Pandawa dan Kurawa masih datang dari satu keturunan, yakni Dinasti Kuru. Hmm, lantas, akankah para ksatria wayang ini mengalami rivalitas di antara saudara-saudara sendiri sehingga malah sulit mengalahkan “Kurawa”? Semoga aja nggak lah ya. (A43)