“Kami para purnawirawan Polri ini terpanggil tentu dengan situasi yang kita sama-sama prihatin adanya berbagai peristiwa” – Jenderal (Purn) Tan Sri Da’i Bachtiar, Mantan Kapolri
Siapa sih yang nggak kenal anime Naruto? Naruto Uzumaki merupakan seorang ninja (shinobi) dari Desa Konoha yang mempunyai mimpi besar untuk menjadi hokage (kepala Desa Konoha) dengan sekelumit rintangan dan tantangan yang dihadapinya.
Dalam perjalanannya, Naruto dihadapkan dengan tantangan untuk memahami berbagai teknik ninja yang disebut jutsu sebagai bekal untuk mengalahkan para musuhnya.
Nah, ada satu jutsu yang mencuri perhatian dalam kisah Naruto ini. Jutsu tersebut adalah edo tensei, sebuah jutsu yang mampu menghidupkan kembali ninja yang telah meninggal. Meski hidup sementara, para ninja ini mempunyai seluruh kemampuan ninjanya sebagaimana mereka hidup dahulu.
Terdapat beberapa ninja yang pernah menggunakan jutsu ini. Mungkin, sosok yang banyak dikenal adalah Orochimaru karena pernah menghidupkan beberapa hokage.
Namun, di ending anime ini, ada tokoh lain yang mampu menghidupkan semua pemimpin desa ninja, termasuk Konoha. Orang itu adalah Hagoromo Otsutsuki yang dikenal sebagai Rikudou Sennin.
Pada komik Naruto Chapter 690, Hagoromo menggunakan jutsu turunan edo tensei yang disebut Teknik Gedo. Ia memanggil para kage terdahulu untuk menyelesaikan tugas terakhirnya menyelesaikan persoalan dunia ninja.
Hmm, meski edo tensei Teknik Gedo merupakan imajinasi Masashi Kishimoto – penulis kisah Naruto, hal ini juga terejawantahkan loh dalam kehidupan nyata.
Mungkin, ini mirip peristiwa datangnya tujuh purnawirawan mantan Kapolri menemui Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membahas kondisi Korps Bhayangkara – seolah mengingatkan kita dengan kisah Naruto di atas.
Bayangkan, tidak tanggung-tanggung Listyo mampu menggunakan “Teknik Gedo” untuk menghadirkan tujuh mantan Kapolri. Tentu, kedatangan mereka di Gedung Rupatama Mabes Polri itu mendapat banyak atensi.
Mereka yang datang untuk bertemu Listyo adalah Jenderal (Purn) Bambang Hendarso Danuri, Jenderal (Purn) Roesmanhadi, Jenderal (Purn) Chaerudin Ismail, dan Jenderal (Purn) Tan Sri Dai Bachtiar.
Tidak luput juga, terlihat ada Jenderal (Purn) Sutanto, Jenderal (Purn) Timur Pradopo, dan Jenderal (Purn) Badrodin Haiti.
Menurut berbagai pemberitaan, para mantan Kapolri itu merasa terpanggil untuk datang ke tempat mereka pernah berdinas dulu. Mereka prihatin dengan kondisi Polri saat ini.
Seperti yang diketahui banyak pihak, Polri menghadapi rentetan peristiwa yang dianggap mengecewakan oleh masyarakat dalam beberapa waktu terakhir – mulai dari kasus Ferdy Sambo hingga Tragedi Kanjuruhan pada awal Oktober lalu.
Anyway, mungkin, kehadiran para mantan Kapolri ini bisa juga dianggap sebagai bagian dari strategi Kapolri Listyo untuk membenahi institusinya. Secara simbolik, Listyo ingin memperlihatkan kalau para pendahulu masih ada untuk membantu institusi ini.
Dalam konteks manajemen organisasi, strategi ini bisa disebut sebagai upaya untuk memperbaiki persoalan organisasi melalui pendekatan kultural. Secara umum, organisasi mempunyai empat kategori secara manajemen – yakni internal, eksternal, struktural, dan kultural.
Masalah yang menimpa Polri selama ini selalu terkait dengan persoalan internal. Untuk itu, selain pendekatan struktural dalam bentuk penataan ulang aturan untuk anggota Polri, perlu adanya pendekatan kultural karena pendekatan ini menurut doktrin manajemen dianggap perekat sebuah lembaga atau organisasi.
Well, kita akhirnya menunggu apakah kehadiran para mantan Kapolri ini mampu memberikan dampak psikologis karena merupakan bagian dari pendekatan kultural. Mungkin, butuh waktu untuk melihat itu.
Semoga Listyo hanya menggunakan “edo tensei” kepada tujuh mantan Kapolri. Takutnya, jutsu-nya malah lebih moncer lagi kalau seandainya dapat memanggil Alm. Jenderal Pol. Hoegeng. Bisa-bisa, polisi bisa langsung suuuaangggaaat dicintai rakyat. Hehehe. (I76)