Site icon PinterPolitik.com

Kok Brigitta Baper Sama Mamat?

Kok Brigitta Baper Sama Mamat?

Mamat Alkatiri. (Foto: Instagram/@mamat_alkatiri)

“Tapi setahu saya di Indonesia mau dia pejabat publik mau dia pembantu rumah tangga, tetap tidak boleh di-bully apalagi dimaki. Gausah bawa-bawa saya pejabat publik harus siap dikritik deh. Itu bully dan verbal harassment,” – Hillary Brigitta Lasut, Anggota DPR Fraksi Nasdem


PinterPolitik.com

Beberapa hari terakhir, panggung stand-up comedy tanah air kembali ramai jadi bahan perbincangan, setelah muncul laporan dari Anggota DPR RI Fraksi Partai Nasdem Hillary Brigitta Lasut kepada komika Mamat Alkatiri.

Brigitta melaporkan Mamat ke Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik. Brigitta tidak terima dengan cara Mamat melontarkan kritik. Dia merasa roasting Mamat bukanlah sebuah kritik melainkan penghinaan.

Lantas, muncul pertanyaan. Apakah materi stand-up comedy Mamat yang menggunakan teknik roasting itu mengandung unsur penghinaan dan pelecehan verbal?

Sedikit memberikan konteks, dilema kritik yang ditafsirkan sebagai bentuk penghinaan dalam acara roasting muncul beriringan dengan berkembangnya acara stand-up comedy yang telah populer kurang lebih sepuluh tahun terakhir.

Pentas komedi monolog yang ditampilkan oleh comic ini menyajikan berbagai isu-isu sosial yang diangkat dari keresahan banyak kalangan. Sering kali, para comic tidak hanya mencari tawa di depan publik, melainkan juga melakukan kritik melalui teknik roasting.

Roasting-an Mamat ke Brigitta Kelewatan?

Di Indonesia, mungkin hal ini termasuk baru. Namun, sebenarnya, teknik roasting semacam ini atau ungkapan satir dalam komedi sudah lama berlangsung dan bersinggungan dengan politik di Amerika Serikat (AS).

Sebut saja acara satir semisal The Daily Show dan The Colbert Report yang telah menjadi bagian dari budaya politik warga AS. Lebih dari sekadar hiburan, keduanya menjadi sumber utama berita dan informasi bagi generasi muda.

Dengan menggunakan platform yang berbeda, acara seperti Saturday Night Live (SNL) terus menyajikan pertunjukan politik dengan menyajikan tema-tema yang satir dan terkesan mengolok-olok para politisi.

Anyway, acara-acara humor satir yang dipertunjukkan di AS sekiranya dianggap mempunyai pengaruh terhadap perilaku politik anak muda. Alasannya ialah karena humor satir dianggap lebih relatable dengan kehidupan mereka.

Bagi generasi muda, komedi lebih dari sekadar cara yang menyenangkan untuk melewati malam dan lebih dari sekadar sebagai sesuatu yang menghibur. Humor masuk ke jalinan kehidupan sehari-hari, termasuk preferensi politik mereka.

Peter McGraw dan Joel Warner dalam tulisannya The Humor Code melihat komedi sebagai produk purba yang sudah lama disenangi oleh umat manusia. Produk yang juga menjadi bahan renungan para filsuf – mulai dari Plato hingga Charles Darwin.

McGraw dan Warner menceritakan bagaimana seorang Darwin mencari benih tawa dalam tangisan gembira simpanse yang menggelitik. Selain itu, ada juga Sigmund Freud yang mencari motivasi melalui lelucon di celah alam bawah sadar kita.

Tidak hanya berwajah ceria, humor bisa juga ditampilkan dengan wajah dramatis yang menyeramkan. McGraw dan Warner menyebut Thomas Hobbes sebagai contoh – bagaimana Hobbes menampilkan humor yang seolah-olah mengolok-olok kelas lemah dan menonjolkan superioritas. 

Dalam konteks komunikasi politik, humor pun menemukan bentuknya melalui pesan yang “keras” untuk menarik perhatian banyak orang. Mungkin ini yang membuat perspektif dalam memahami kritik sering kali berbeda.

Bayangkan. Jika pesan politik diucapkan dengan bahasa lembut, maka sangat sedikit yang ingin mendengarkannya. Hal ini juga yang sedikit menjawab kenapa roasting Mamat terkesan kasar dan dianggap penghinaan.

Apakah mungkin karena komedi yang dipentaskan Mamat merupakan satir tingkat tinggi kali ya – sampai-sampai tidak semua politisi dapat menangkapnya? Ataukah tiap politisi punya frekuensi yang berbeda-beda dalam menangkap komedi?

Avner Ziv dalam bukunya Personality and Sense of Humor mengatakan bahwa komedi dan satire memiliki kesamaan dalam arti keduanya mencoba mengubah atau mereformasi masyarakat melalui humor.

Ziv melihat adanya perbedaan frekuensi dalam menangkap bentuk-bentuk humor terutama satir – yang mana membuat sering kali muncul kesalahpahaman di tengah masyarakat.

Nah, perbedaan frekuensi ini dapat dilihat dari komentar Fadli Zon yang merasa terhibur dengan roasting Mamat – berbeda dengan apa yang ditangkap oleh Brigitta.

Anggota DPR dari Fraksi Gerindra itu malah menyarankan agar masalah ketersinggungan Brigitta lebih bijak jika diselesaikan dengan cara mengajak Mamat makan dan bukan melaporkannya ke polisi.

Hmm, terkesan lebih bijaksana sih saran ajak makan ala Fadli Zon. Tapi, apakah ada jaminan saat makan nanti Mamat nggak roasting Brigitta lagi? Uppss. Hehehe. (I76)


Kelas Revolusi Baru, Jalan Nadiem Menuju Pilpres
Exit mobile version