“Bukan itu persoalannya, itu (tambang) juga tidak pernah ada. Jadi sekarang ini kan Pak Gubernur dituduh hasil korupsinya disetor ke kasino, sekarang tugasnya itu kita membuktikan,” – Stephanus Roy Rening, Ketua Tim Kuasa Hukum Gubernur Papua Lukas Enembe
Merujuk data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sampai saat ini telah ada 176 kepala daerah yang tersandung permasalahan hukum. Terakhir, sedang ramai dibincangkan public, yakni Gubernur Papua Lukas Enembe.
Meskipun KPK telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi. Namun, Lukas tetap tidak kunjung penuhi panggilan dengan alasan sedang sakit.
Bahkan, melalui tim kuasa hukumnya, Enembe meminta penjadwalan ulang dengan alasan akan melakukan pemeriksaan di Singapura. Namun, KPK masih mempertimbangkan usulan itu dan menyarankan menggunakan dokter yang telah disiapkan oleh KPK.
Sedikit memberikan konteks, sebelumnya KPK telah menetapkan Enembe sebagai tersangka dugaan korupsi APBD dan gratifikasi senilai Rp1 miliar.
Kegemaran Enembe berjudi menjadi pemicu kasus ini didalami lebih intens. Secara bersamaan muncul laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menduga adanya penyimpanan dan pengelolaan uang Enembe yang dinilai tidak wajar.
Dugaan Enembe gemar berjudi semakin terang ketika Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman membuka beberapa bukti kegiatan judi Enembe di luar negeri, seperti di Filipina, Malaysia, dan Singapura.
Merespons polemik judi yang menjerat Enembe, melalui Ketua Tim Kuasa Hukumnya, Stephanus Roy Rening, diakui memang benar kalau kliennya kerap berjudi di luar negeri. Namun, judi yang dilakukan Enembe disebut lumrah dan sering dilakukan pejabat.
Di sinilah titik persoalannya. Selama ini, seringkali perjudian dijadikan sebagai instrumen para koruptor sebagai modus pencucian uang. Hal ini sejalan dengan temuan PPATK terkait transaksi perjudian dengan bentuk setoran melalui beberapa pihak lain (nominee) dengan nominal dari satu hingga ratusan miliar.
Lucky Suryo Wicaksono dalam tulisannya Kepastian Hukum Nominee Agreement Kepemilikan Saham Perseroan Terbatas, mengungkapkan bahwa nominee kerap menjadi alat untuk memfasilitasi korupsi maupun illicit enrichment dengan mengaburkan keterkaitan langsung pelaku dengan tindakannya.
Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, penggunaan nominee dalam memutuskan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang bukanlah isu baru.
Sebagai contoh, pada kasus korupsi Jiwasraya, Direktur PT Himalaya Energi Perkasa divonis 20 tahun penjara karena terbukti telah mendirikan sejumlah perusahaan nominee dan membuat beberapa nominee perseorangan dalam melancarkan kejahatannya.
Fast forward, apabila memang terbukti terdapat pemanfaatan sarana perjudian sebagai modus pencucian uang dalam dugaan kasus yang melibatkan Enembe, maka akan semakin terbukti ramalan para pendiri bangsa, tentang kerusakan masa depan yang akan terjadi.
Sebagai contoh, ungkapan tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sutan Syahrir, yang mengatakan politik bukanlah sekadar perhitungan, melainkan tindakan etis, sebuah tindakan yang berdasarkan perhitungan moral yang tinggi.
Syahrir memimpikan kalau para pemimpin negeri ini kedepannya haruslah mereka yang mempunyai jiwa pahlawan, bahkan menjalankan tugas laksana para nabi. Bukan para pemain judi yang menggadaikan hartanya.
Kata “judi” digunakan dalam dua bentuk sekaligus. Secara literally permainan judi, dan yang kedua sebagai kiasan. Bahwa politik sama seperti judi, yaitu permainan yang penuh aroma spekulasi, mengejar sejumlah kemungkinan dalam ketidakpastian.
Hmm, inilah pentingnya belajar sejarah. Kita mampu menjadikan ungkapan para pendahulu sebagai rambu-rambu berpolitik demi masyarakat dan bangsa.
Well, kita lihat saja kelanjutan kasus yang menjerat Enembe ini. (I76)