“Sia–sia pada akhirnya. Putus asa, terekam pedih semua. Masalahnya lebih dari yang secukupnya” – Hindia, penyanyi asal Indonesia
PinterPolitik.com
Penyebaran virus Corona di Indonesia semakin masif, guys. Setiap hari, berita di televisi maupun portal media di internet mengabarkan tentang jumlah kasus pasien positif virus Corona (Covid-19) yang semakin bertambah, bahkan bisa mencapai 300 lebih kasus baru dalam sehari loh.
Serem banget kan, gengs. Belum lagi berita hoaks tentang pandemi in dan segala cocoklogi-nya. Karena jumlah pasien yang semakin membludak, tentunya membuat masyarakat Indonesia semakin dag dig dug dong. Hmm, untung bukan dag dig dung duerr D**a. Hehehe
Apalagi, dengan adanya kebijakan social distancing, ruang gerak jadi terbatas. Nah, untuk melindungi seluruh masyarakat Indonesia, pemerintah menerapkan berbagai cara dan siasat untuk mengatasi pandemi ini, gengs. Salah satunya adalah penetapan wabah Corona sebagai bencana non-alam nasional.
Jadi, memang pemerintah kali ini sedang berjuang mati-matian gitu, cuy. Lagi pula, Indonesia juga ogah kalau harus jadi episentrum Covid-19 yang baru. Keseriusan pemerintah Indonesia dalam menangani wabah ini dibuktikan dengan adanya gelontoran dana sebesar 405 triliun, cuy. Wadadaww, banyak banget, cuy. Kalau untuk beli es cendol bisa buat berenang tuh paling. Hehehe.
Kalau diamati secara mendalam, suntikan dana sebesar itu sangat lah rentan terhadap tindakan korupsi. Bener gak, guys? Soalnya dana yang besar biasanya digunakan ”bancakan” alias bagi-bagi jatah untuk para oknum tertentu. Kacau memang.
Jadi, kalau bisa sih, penggunaan anggaran dana ini harus diawasi dengan baik dan benar. Ada celah sedikit saja bisa kecolongan tuh. Jangan sampai deh antara kasus Corona dengan korupsi dananya sebanding, Hehehe. Jadi gak salah juga kalau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ikut mengkritisi.
Meskipun kucuran dana yang diberikan pemerintah banyak, penanganan Covid-19 di Indonesia tampaknya masih kurang efisien loh. Buktinya, masih banyak regulasi soal yang overlapping, tidak jelas, dan membingungkan rakyat, seperti tumpang tindih antara Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) soal ojek online, atau Peraturan Menteri Perindustrian dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta. Haduuh, kalau ada loba kekompakan di dunia, Indonesia bisa ditertawakan dunia nih. Tidak kompak blass.
Melihat kondisi seperti ini, kelihatannya pemerintah Indonesia tengah bimbang nih mengenai cara-cara yang diperlukan dalm penanganan pandemi Covid-19 dengan baik dan benar. Malah terkesan masih meraba–raba gitu, cuy.
Pasalnya, kalau melihat dari penetapan hukum, seharusnya sih ada karantina terlebih dahulu, baru penetapan bencana nasional. Bukan begitu, bro and sist? Tapi masih mending sih, daripada harus darurat sipil nanti malah tambah runyam. Upsss.
Kalau dilihat dari sisi dramanya, pemerintah tidak sesuai alur bahkan terkesan meloncat – loncat. Jika dibuat peta konsep, tidak cocok sama urutan legal gitu, gengs.
Ibaratnya, pemerintah Indonesia mau menangani pandemi ini dengan menggunakan jurus mabuk, gitu. Kalau jurus mabuk di film silat sih, bakal menang melawan musuh. Kalau Pemerintah Indonesia kira-kira bakal menang juga gak ya, gengs? Hmmm, semoga gak malah keok ya, gengs. Hehehe.
Terlepas dari itu, kita sebagai rakyat kecil sebaiknya tetap berdoa ya, gengs, biar pemerintah ini bisa mempunyai jurus mabuk yang taktis dan efektif. Hehehe. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.