“Kami dari Industri Hasil Tembakau (IHT) tidak sependapat terkait larangan penjualan ketengan ini,” – Benny Wahyudi, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo)
Merujuk laporan dari Global Adult Tobacco Survey (GATS), dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021.
Dengan angka yang begitu besar, tentu rokok akan mendapat atensi khusus. Apalagi baru saja dikabarkan kalau Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengeluarkan keputusan terkait dengan larangan penjualan rokok batangan atau ketengan.
Sedikit memberikan konteks, penjualan rokok ketengan merupakan praktik yang biasanya ditemukan pada warung-warung kecil di pinggir jalan. Bagi masyarakat kita, praktik asongan itu menjadi alternatif untuk mendapatkan rokok dengan dana yang terjangkau.
Merespons keputusan Jokowi tersebut, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi tidak sependapat dengan aturan larangan penjualan ketengan ini.
Benny menilai aturan ini belum tentu bisa menurunkan prevalensi merokok usia remaja. Artinya, tidak ada hubungan antara larangan menjual rokok batangan dengan kemampuan remaja untuk mengakses rokok.
Anyway, siasat pemerintah untuk membatasi perokok usia remaja melalui peraturan ini bukanlah kali pertama.
Di akhir tahun 2021, pemerintah melalui kebijakan dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) agar bisa menekan konsumsi rokok dengan mempertimbangkan faktor kesehatan dan ekonomi masyarakat.
Jika kita melihat cara berpikir yang dibangun, pemerintah terkesan berharap adanya peraturan ini nantinya menjadi pemicu munculnya efek tidak langsung – biasa kita sebut dengan istilah efek domino – kepada calon pembeli rokok.
Teguh Dartanto dalam tulisannya Ilusi Efek Domino Cukai Rokok mengandaikan jika efek domino atau reaksi berantai dapat diartikan sebagai efek kumulatif yang dihasilkan saat satu peristiwa menimbulkan serangkaian peristiwa serupa.
Istilah ini biasanya lebih dikenal sebagai efek mekanis dan dipakai sebagai analogi barisan berjatuhan dari domino satu ke domino lainnya. Namun, apakah variabel di luar harga yang diyakini dominan dalam efek ini juga terakomodir?
Variabel lain di luar harga, misalnya cara mendapatkan barang, perlu menjadi catatan – bahwa kalau remaja tidak selalu membeli rokok sendiri-sendiri. Bahkan, sering kita lihat lebih marak mereka dengan cara kelompok melalui patungan.
Oh iya, strategi pemerintah untuk melarang penjualan rokok batangan ini bisa jadi menyasar para pedagang asongan yang mendapatkan penghasilan dari menjual rokok eceran.
By the way, ngomongin pedagang asongan penjual rokok ketengan, jadi teringat cerita yang sempat viral terkait Mbah Kempot yang mencari nafkah dengan berjualan rokok keliling di sekitaran Malioboro, DI Yogyakarta.
Mbah Kempot yang telah berjualan rokok keliling sejak tahun 1980-an ini memiliki impian dan tekad untuk memenuhi pendidikan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi.
Akhirnya, usaha Mbah Kempot ini tidak sia-sia. Ia telah sukses membiayai anaknya kuliah hingga S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM). Kesuksesan Mbah Kempot ini menjadi inspirasi bagi para pedagang kecil lainnya.
Well, cerita singkat Mbah Kempot bisa menjadi bahan evaluasi untuk melihat sisi lain sebuah kebijakan. Bagaikan buah simalakama, rokok dapat menghidupkan yang satu tapi malah membunuh yang lain.
Bagi pedagang asongan, kebijakan ini malahan akan berdampak pada pelemahan daya jual. Bisa jadi, pedagang asongan yang biasa mendapat untung dari selisih jual ketengan akan terancam hanya karena larangan tersebut. Huhu. (I76)