“Tanpa tradisi, seni adalah kawanan domba tanpa gembala. Tanpa inovasi, itu adalah mayat” – Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Inggris
Ada kisah menarik sebelum mimin nyentil soal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kisah ini berasal dari Kerajaan Inggris di abad pertengahan yang berhasil di-capture lewat film berjudul The King. Di film itu, tokoh utamanya bernama Raja Henry V yang memiliki nama panggilan kecil, Hal. Nah, si Hal ini sebenarnya nggak mau jadi raja menggantikan ayahanda, Henry IV.
Bukan tanpa alasan, Hal menolak estafet sebagai anak sulung raja Inggris itu. Menurut Hal, dunia kekuasaan di kerajaannya sangat tidak sehat. Semua orang patuh pada ayahnya yang bengis itu.
Namun, karena suatu kejadian – di mana adik dan ayahnya meninggal, praksis tinggal Hal yang tersisa. Ia pun terpaksa mengiyakan suratan takdir sebagai raja yang baru.
Ternyata, dia nggak mau terjebak pada sistem kekuasaan yang despotik warisan si ayah, cuy sehingga ia pun berhasil mempertahankan idealisme sebagai orang kerajaan yang dekat dengan rakyat. Sebab, dulu sewaktu berkonfrontasi dengan ayahnya, si Hal minggat ke kampung pelosok negeri.
Dari kisah ini, mimin ambil sisi bahwa nggak semua orang yang masuk ke dalam ruang kekuasaan itu berubah jati dirinya. Kalau bawaannya sudah merakyat, mau dikasih iming-iming kekuasaan apa pun ya tetap merakyat. Sama juga dengan kasus perdebatan soal perubahan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Ya, mimin menganggap wajar sih kalau banyak yang meragukan sehingga muncul pertanyaan, “Nanti bagaimana soal independensi KPK? Bukannya kalau sudah masuk di pegawai negara, menolak perintah atasan dan sedikit menyerang akan sulit, ya?
“Lantas, kalau yang korupsi sama-sama ASN dengan status jabatan lebih tinggi, apakah bakal ditindak tegas juga?Wah, jangan-jangan ini benar seperti pendapat Bung Novel Baswedan, yang menilai bahwa ini memang tahap akhir dari upaya pelemahan KPK, bro?”
Oke, gengs, pertanyaan seperti itu wajar kok. Minimal sebagai bukti kepedulian terhadap kinerja KPK. Namun, mbok ya jangan terlalu skeptis dan sinis sama ASN. Nanti bisa-bisa fobia kan jadi repot. Hehehe.
Lagian, bagaimana pun sebuah lembaga itu tergantung pemimpinnya kan, cuy? Layaknya perbedaan antara si Hal dengan ayahnya. Lebih-lebih, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan bahwa status ASN tidak akan pernah mempengaruhi independensi KPK.
Kita coba kali ini percaya saja deh sama doi, kan kasihan. Terlebih, sebelumnya kita pernah bahas kondisi KPK yang ‘fakir’ pujian dengan segala capaiannya. Upsss.
Memang sih, beberapa mantan ‘orang KPK’ seperti Abraham Samad menilai bahwa, bila staf KPK jadi ASN, lembaga anti-rasuah itu akan mudah diintervensi.
Namun, toh nggak ada salahnya kita belajar dari lembaga anti-rasuah luar negeri nih, misal lembaga anti-rasuah Malaysia yang berada di bawah wewenang Perdana Menteri, atau Hong Kong yang bernama Independent Commission Against Corruption (ICAC), di mana pejabat anti-rasuah di sana juga ada yang dari kalangan pemerintah.
Hanya saja, memang aturannya ketat supaya menjaga independensi, yakni kalangan pemerintah itu kalau sudah masuk di ICAC ya nggak boleh balik lagi ke lembaganya. Kalau begitu sama dengan KPK sekarang, kan. Hanya orangnya saja yang jadi ASN, tapi pekerjaannya kan tetap di KPK dengan menggunakan prinsip independensi yang terjaga.
Sekali lagi, khawatir itu penting. Meski begitu, tenang, kalau ternyata nggak efektif, mari kita protes peraturan ini bareng-bareng. Setuju kan? Hehehe. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.