Persoalan hak dan kesejahteraan pekerja memang tidak pernah ada habisnya. Di Prancis, masyarakat sedang memprotes habis-habisan kebijakan penaikan usia pensiun. Di Indonesia, masyarakat juga tengah menolak pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU). Sudah waktunya kah Indonesia mengadopsi protes ala Prancis?
“The voice of the people is the voice of God (Vox Populi, Vox Dei)” – Alcuin
Siapa sih yang tidak tahu dengan Barbie, mainan boneka perempuan yang populer di kalangan anak kecil? Franchise Barbie tidak hanya berhenti di mainan, tetapi juga merambat sampai ke perfilman.
Ada banyak film Barbie yang diproduksi. Namun, salah satu yang paling OG adalah film Barbie as the Princess and the Pauper. Film ini bercerita tentang perjalanan dua gadis yang berasal dari latar belakang sangat berbeda, tetapi memiliki banyak kesamaan dalam hal rupa dan kisah hidup.
Annaliese, sang putri raja, dan Erika, si miskin, lahir pada hari yang sama, memiliki paras yang nyaris identik, dan keinginan untuk terbebas dari tuntutan kehidupannya. Kisah Annaliese dan Erika ini mirip dengan kondisi Indonesia dan Prancis.
Prancis dapat diibaratkan sebagai Annaliese, seorang bangsawan yang kaya raya. Sedikit banyak, Prancis juga demikian, meskipun sudah tidak lagi berbentuk monarki. Indonesia, di lain sisi, layaknya Erika yang hidup miskin dan terlilit hutang.
Meskipun latar belakang keduanya kontras, Anneliese dan Erika memiliki kesamaan. Sama halnya dengan Indonesia dan Prancis, kedua negara ini tengah memprotes kebijakan pemerintah yang dinilai merampas hak dan kesejahteraan pekerja.
Di Prancis, masyarakat sedang mati-matian menolak kebijakan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, untuk menaikkan usia legal pensiun dari 62 ke 64 tahun. Di Indonesia, masyarakat sedang menolak UU Cipta Kerja yang didorong oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR.
Kedua penolakan ini memiliki nada alasan yang sama, yaitu karena dianggap mencederai hak dan kesejahteraan pekerja serta mengancam demokrasi. Pasalnya, penetapan kedua kebijakan ini sama-sama dinilai semena-mena dan tidak sesuai aspirasi masyarakat.
Namun, layaknya Annaliese dan Erika, Prancis dan Indonesia tetap memiliki perbedaannya. Kali ini, perbedaan itu ada dalam aksi protes.
Well, the French sure knows how to protest! Pada 23 Maret lalu, nyaris satu juta masyarakat Prancis turun ke jalan dan melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menolak kebijakan Macron. Sudah sembilan hari mereka protes dan melakukan mogok kerja.
Mogok kerja yang dilakukan oleh para pekerja di Prancis memengaruhi nyaris seluruh aspek kehidupan di sana. Sebagai contoh, para petugas sampah mogok kerja sehingga sekarang Kota Paris sedang ditimbun sampah. Transportasi umum seperti bus dan kereta bawah tanah (Métro) tidak lagi beroperasi. Terminal di bandara Paris pun juga diblokade sehingga memengaruhi penerbangan ke Prancis.
Aksi protes ini menunjukkan kekuatan dari masyarakat. Menurut Qvortrup dalam bukunya The Politics of Participation, masyarakat dapat mengambil andil dalam memengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Hal ini disebut sebagai citizen politics.
Terdapat tiga aspek dalam citizen politics, yaitu talking, voting, dan fighting. Aksi protes jatuh ke dalam kategori fighting di mana masyarakat berjuang untuk pemenuhan hak-hak mereka.
Aksi protes, demonstrasi, mogok kerja, dan sejenisnya adalah upaya-upaya untuk memengaruhi kebijakan lewat jalur informal atau di luar sistem. Cara-cara ini disebut dengan istilah extra-parliamentary politics.
Dari cerita Prancis, Indonesia dapat belajar satu atau dua hal. Melalui aksi yang masif dan terorganisasi, masyarakat dapat mengingatkan kembali kepada para penguasa bahwa kekuatan rakyat tidak dapat diremehkan.
Kalau orang-orang Prancis dapat menekan Presiden Macron dan parlemennya dengan people power, seharusnya Indonesia juga dapat mengingatkan Pak Jokowi dan Ketua DPR RI Puan Maharani soal kedaulatan rakyat seperti mandat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Bukan begitu? (A89)