Banyak pihak menilai bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin mengakhiri masa jabatan keduanya dengan baik – disebut sebagai soft landing. Apakah Jokowi perlu membangun “jalan tol” lebih banyak lagi?
“Highway, dip in traffic” – Travis Scott, “coordinate” (2016)
Sudah bukan rahasia lagi bahwa jalan tol membantu banyak orang yang ingin melakukan perjalanan jarak jauh antar-kota – bahkan juga perjalanan antar-provinsi. Kendaraan yang melalui jalan tol pun beragam – mulai dari yang kecil seperti mobil pribadi, bus (coach), hingga truk yang mengangkut barang dalam jumlah besar.
Nah, ada sejarah yang menarik nih dari bagaimana jalan tol bisa menjadi pilihan yang disukai banyak orang untuk melakukan perjalanan jarak jauh. Salah satunya adalah bagaimana negara Amerika Serikat (AS) menjadikan jalan tol (highway) sebagai bagian dari budaya mereka – seperti kebiasaan roadtrip.
Tepatnya, dimulai pada tahun 1950-an, yakni ketika Presiden AS Dwight D. Eisenhower membuat rangkaian kebijakan yang mempermudah pembangunan jalan tol antar-negara bagian di AS. Sampai-sampai nih, sistem jalan tol yang membentang di AS ini disebut sebagai Eisenhower Interstate System.
Nah, bagaimana dengan di Indonesia? Mungkin, mirip-mirip dengan Eisenhower di AS, Indonesia kini punya Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membangun banyak jalan tol sehingga menghubungkan banyak kota/kabupaten di berbagai provinsi.
Boleh jadi, baik Eisenhower maupun Jokowi sama-sama suka dengan satu kelebihan jalan tol, yakni jalan yang sifatnya bebas hambatan. Nah, saking bebas hambatannya, jalan tol akhirnya diharapkan bisa menyalurkan uang lebih pesat di antara daerah-daerah yang dilalui.
Tapi nih, Pak Jokowi kini sepertinya membutuhkan lebih banyak “jalan tol” yang bebas hambatan di periode pemerintahannya kedua ini. Gimana nggak? Makin ke sini, kayak-nya “hambatan” politiknya semakin banyak juga.
PDIP, misalnya, baru beberapa waktu lalu bertemu Jokowi melalui pertemuan dengan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri di Istana Batutulis, Bogor, Jawa Barat. Nggak hanya PDIP, Nasdem pun dituding mulai meninggalkan Jokowi melalui pengumuman Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) pada tahun 2024 mendatang.
Padahal, ya, mengacu pada tulisan Dan Slater berjudul Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-sharing and the Contingency of Democratic Opposition, pembagian kekuasaan dengan partai-partai politik (parpol) ini penting bagi kekuatan eksekutif dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya.
Nah, Pak Jokowi sendiri disebut-sebut ingin bisa soft landing menuju akhir masa jabatannya pada tahun 2024 mendatang. Maka dari itu, bukan tidak mungkin, selain membangun jalan tol biasanya, Pak Jokowi kayak-nya juga perlu membangun jalan tol lebih banyak – yakni “jalan tol” politik – supaya bisa bebas hambatan tuh soft-landing-nya. Hehe. (A43)