Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah bertanya pada sejumlah menteri terkait keinginan mereka untuk maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Apakah izin Presiden Jokowi sepenting itu bagi para kandidat?
Munculnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai pemenang pada Pilpres 2014 menjadi babak baru dalam politik Indonesia. Dalam bukunya Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia, Marcus Mietzner menggambarkan Jokowi sebagai simbol sekaligus fenomena kebangkitan kekuatan politik.
Menurut Mietzner, meskipun bukan berasal dari oligarki, Jokowi justru mampu menjadi kekuatan baru dan memaksa oligarki untuk mendukungnya. Dalam catatannya, Jokowi telah membawa tren populisme politik ke puncak kepopulerannya di Indonesia.
Selepas keberhasilan Jokowi, berbagai politisi menjadikan populisme menjadi semacam acuan dasar dalam berpolitik. Ini misalnya terlihat dari gestur berbagai kandidat yang ingin memperlihatkan dirinya sebagai sosok sederhana, seperti halnya Jokowi.
Yang tak kalah menarik, selain soal populisme dan bangkitnya kekuatan baru politik, Jokowi tampaknya telah melahirkan fenomena baru dalam politik nasional Indonesia. Jika diperhatikan, berbagai kandidat yang ingin maju di Pilpres 2024 terlihat sangat membutuhkan dukungan sang RI-1. Jokowi sendiri telah bertanya kepada sejumlah menteri dan disebut memberi restu untuk maju.
Jika pembacaan ini tepat, maka ini adalah babak baru, di mana dukungan politik (political endorsement) seorang presiden begitu dicari dan berpengaruh bagi kandidat yang ingin maju. Di Amerika Serikat (AS), ini bukan fenomena baru. Tetapi di Indonesia, ceritanya sangat berbeda.
Enam presiden sebelumnya gagal memberikan dukungan politik mereka bagi presiden selanjutnya. Soekarno dan Soeharto merupakan pemimpin otoriter yang tidak menyiapkan penggantinya. Kemudian, BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak mampu mempertahankan kursi kekuasaannya.
Megawati Soekarnoputri lebih baik. Namun, menurut berbagai pihak, ia dikelabui oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menjawab tidak ingin maju ketika ditanya Mega.
Sementara SBY, seperti yang kita lihat, ia gagal meletakkan fondasi politik yang kokoh. Selain dukungannya tidak dicari pada Pilpres 2014, Partai Demokrat saat ini turun kasta menjadi partai tengah.
Sekali lagi, suka atau tidak, fenomena dicarinya dukungan politik presiden baru terlihat kentara pada diri Jokowi. Dukungan publik yang masih besar terhadap sang RI-1 dipercaya sebagai modal politik berharga bagi para kandidat yang ingin maju di Pilpres 2024.
Konteks ini misalnya terlihat dari narasi berbagai relawan yang menyebut kandidat dukungannya merupakan penerus perjuangan politik Jokowi.
Well, kembali mengutip Marcus Mietzner, Jokowi tampaknya membawa fenomena baru dalam politik nasional Indonesia.
Selain sebagai kekuatan baru yang menantang dominasi oligarki, Jokowi juga tampaknya membawa tradisi dukungan politik presiden seperti yang terjadi di AS. (R53)