“Harus tegas, tidak boleh ragu. Tapi jangan sampai Bawaslu malah jadi badan pembuat was-was pemilu,” – Joko Widodo, Presiden RI
Baru-baru ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menghelat acara konsolidasi nasional untuk persiapan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam acara tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berikan pidato dan arahannya untuk Bawaslu.
Presiden ke-7 RI itu meminta Bawaslu harus bekerja secara cepat, responsif, dan dalam koridor hukum. Harapannya, Bawaslu tidak ragu dalam menegakkan aturan sehingga pengawasan yang dijalani akan berlangsung adil dan tidak berpihak.
Jokowi berpesan Bawaslu tidak membuat masyarakat segan untuk memilih kandidat dalam pemilu maupun pembuat peserta pemilu was-was bersosialisasi atau kampanye.
Pasalnua, posisi Bawaslu begitu sentral untuk menjaga kepercayaan (trust) dari sebuah hasil Pemilu. Secara teoritis, “kepercayaan” yang juga menentukan keberhasilan sebuah pelaksanaan dapat diukur dari kontrol yang dilakukan.
Hal ini mirip dengan konsep dalam ilmu manajemen, mengacu John R. Schermerhorn dalam bukunya Managing Organizational Behavior, yang mana hasil sebuah manajemen tidak hanya diukur oleh variabel planning, organizing, dan leading saja, melainkan juga controlling.
Controlling dalam konteks ini bisa kita artikan sebagai pengawasan. Selain Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pelaksana Pemilu, Bawaslu dengan pengawasannya punya peran penting untuk membuat pelaksanaan Pemilu sesuai koridor.
Anyway, selain persoalan normatif di atas, ada juga persoalan tafsir yang menghinggapi pernyataan Jokowi terkait bagaimana Bawaslu jangan sampai menjadi badan pembuat was-was pemilu.
Ungkapan ini bersifat multi–tafsir. Ada yang menafsirkan kalau ini adalah sebuah pesan Jokowi agar Bawaslu berani menindak dan menyelesaikan berbagai pelanggaran dengan tegas – tidak usah ragu-ragu dan tidak boleh ragu – sehingga was-was yang dimaksud di sini adalah “keraguan” para peserta pemilu.
Jika sampai di sini tafsirannya, maka argumen ini akan terkesan normatif. Tidak ada nilai kritis dalam melihat argumentasi Jokowi.
Namun, bagaimana jika tafsiran ungkapan Jokowi ini dilihat dari persoalan bahasa? Apakah ada persoalan di sana?
Jika kita lihat pengertian antara kata “awas” dan “was-was” dalam Bahasa Arab, maka kita akan menemukan sifat homonim dalam dua kata tersebut. Sedikit memberikan pengertian, homonim menunjukkan suatu kata yang memiliki relasi makna yang berbeda tetapi mempunyai kesamaan. Biasanya, kesamaan ini dilihat dari dua karakter.
Karakter pertama dilihat secara fonologis, yaitu identifikasi kesamaan dari segi bunyi atau pengucapannya. Karakter kedua dilihat dari segi ortografis, yaitu identifikasi menurut tulisan atau asal kata sebuah istilah.
“Awas” dan “was-was” adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang mirip tetapi maknanya berbeda. Namun, demikian, tidak bisa dipungkiri jika seseorang “diawasi”, maka akan muncul kondisi psikis yang disebut “was-was”
Menurut Ricardo de Oliveira-Souza, seorang psikiater di Institut Penelitian dan Pendidikan d‘Or (IDOR) di Rio de Janeiro, perasaan diawasi secara natural membuat seorang berhati-hati (was-was).
Artinya, was-was adalah konsekuensi logis dari sebuah pengawasan. Namun, jika Jokowi meminta Bawaslu agar tidak menjadi badan pembuat was-was, maka hal tersebut terkesan “keliru” menurut perspektif bahasa.
By the way, bicara soal “mengawasi” jadi teringat serial Wednesday (2022) yang trending di Netflix secara global.
Serial yang disutradarai Tim Burton ini, menceritakan Wednesday Addams diperankan oleh Jenna Ortega sebagai remaja putri yang bertingkah selalu penuh rasa “awas” kepada lingkungan sekitar.
Pesan penting dari film ini yang relatable dalam kehidupan kita adalah mengenai persoalan kepercayaan kepada orang lain.
Susah percaya orang lain tidak bisa dianggap sepele. Hal itu mempengaruhi hubungan sesama manusia karena sejatinya manusia makhluk sosial yang membutuhkan seseorang untuk menaruh kepercayaan.
Tindakan waspada yang terlalu berlebihan hingga hilangnya rasa percaya kepada orang lain akan menimbulkan rasa takut yang berlebih – atau bahasa kekiniannya ialah trust issues.
Well, kembali ke konteks Jokowi dan Bawaslu, diawasi secara natural akan melahirkan rasa was-was. Nah, kalau Bawaslu sudah buat peserta pemilu sudah tidak was-was, maka perlu dipertanyakan nggak sih “taring pengawasannya”? Hmmm. Hehehe. (I76)