“Para perempuan menanggung beban kerja keras yang ‘brutal’ di perkebunan di Indonesia dan Malaysia terkait dengan nama-nama seperti Procter & Gamble dan Johnson & Johnson”. – Laporan Associated Press
Beberapa hari lalu, sebuah laporan dikeluarkan oleh Associated Press alias AP, yang kemudian salah satunya dimuat oleh media asal Hong Kong, South China Morning Post, terkait kondisi para pekerja perempuan yang dianggap sangat buruk di perkebunan kelapa sawit.
AP melakukan investigasi ke beberapa perkebunan sawit di Indonesia dan Malaysia dan melakukan interview terhadap ratusan perempuan. Mereka menemukan bahwa banyak pekerja perempuan mendapatkan pelecehan seksual, beban kerja yang sangat berat, dan kondisi kerja yang buruk karena harus bersentuhan dengan zat-zat berbahaya.
Ancaman dan kekerasan yang dialami oleh pekerja perempuan bahkan ada yang sudah terjadi sejak berusia 15 hingga 16 tahun. Wih, ngeri-ngeri sedap nih kalau bicara industri yang satu ini.
AP juga menyebutkan bahwa ironisnya, dengan kondisi kerja yang buruk bagi perempuan itu, industri kelapa sawit ini justru berkontribusi besar untuk tetap berlangsungnya industri kosmetik – yang juga identik dengan kebutuhan kaum perempuan.
Well, oleokimia berbasis sawit seperti gliserin, fatty alcohol, lemak ester, dan lemak amina digunakan secara luas dalam kosmetik dan formulasi personal care dalam berbagai fungsi. Apalagi, banyak produsen kosmetik udah mulai meninggalkan bahan-bahan sintetik.
Nah, ini jadi ironi kan. Soalnya satu industri yang mengeksploitasi perempuan, menjadi penopang industri lain yang mengkapitalisasi kebutuhan perempuan.
Jadi, setiap kali mengoleskan lipstik yang ada bahan turunan minyak sawitnya, bisa dibayangkan ada kekerasan terhadap perempuan yang berkontribusi di dalamnya. Wih, sadis men.
AP bahkan menyebut beberapa nama besar loh yang disebut menggunakan produk turunan minyak sawit di produk-produk kosmetiknya tersebut.
Menariknya, pemerintah Indonesia sendiri – seperti ditulis oleh AP – tidak memberikan tanggapan yang tegas soal persoalan yang menimpa para pekerja perempuan ini. Pada saat yang sama, pemerintah juga malah makin mempromosikan minyak sawit – tentu saja karena kontribusinya yang besar untuk pendapatan negara – katakanlah lewat lobi-lobi politik di negara-negara yang sudah mulai melarang impor minyak sawit.
Presiden Jokowi sendiri juga jadi salah satu yang getol mendorong industri ini, katakanlah lewat berbagai kebijakan peremajaan lahan sawit, hingga izin-izin pengelolaan lahan di berbagai daerah yang tidak sedikit juga menimbulkan masalah dengan masyarakat sekitar.
Wih, jadi makin pelik kan persoalannya.
Intinya, laporan AP ini kudu dijadikan bahan untuk melihat lebih dalam industri ini. Jangan sampai kita terbuai dengan berharganya nilai sawit dan kosmetik yang bisa diproduksi dari bahan mentah itu, lalu kita lupa ada banyak perempuan yang menderita dalam upaya memproduksi komoditas tersebut.
Hmm, menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.