“Kalaupun nanti ada perpanjangan atau penundaan itu berdasarkan prinsip kehati-hatian. Presiden tidak mau terburu-buru, nanti ada efek kurang baik”. – Donny Gahral Adian, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden
Setelah berbagai uji coba dilakukan oleh banyak perusahaan besar dunia untuk menyempurnakan vaksin Covid-19, kini komoditas medis yang satu ini sudah memasuki tahap-tahap akhir pengujian, dan bahkan tinggal menunggu waktu untuk bisa digunakan oleh masyarakat luas.
Hal ini tentu menjadi harapan tersendiri bagi para pemimpin negara-negara di dunia agar setidaknya bisa mengeluarkan negaranya masing-masing dari persoalan-persoalan pelik yang ditimbulkan oleh virus yang satu ini.
Beberapa pemimpin mungkin begitu excited alias “gembira”, sampai-sampai menargetkan dengan cepat agar vaksin tersebut bisa segera diaplikasikan kepada masyarakat. Salah satunya adalah Presiden Jokowi.
Nggak tanggung-tanggung, Jokowi awalnya sempat menargetkan agar vaksin Covid-19 ini bisa digunakan pada Desember 2020. Nggak heran pada akhirnya Indonesia “berburu” vaksin ke berbagai negara.
Mulai dari Tiongkok, hingga AstraZeneca yang merupakan perusahaan Inggris-Swedia, lalu juga mulai menjajaki produk vaksin buatan perusahaan-perusahaan asal Amerika Serikat (AS).
Sayangnya, harapan dan target cepat Pak Jokowi itu sepertinya sedikit meleset. BPOM sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab menilai apakah sebuah produk obat atau makanan bisa diedarkan atau tidak, sudah memberikan pernyataan bahwa vaksin Covid-19 baru bisa digunakan pada Januari 2021.
Hmm, dari pernyataan tersebut, setidaknya ada dua hal yang bisa dijadikan catatan pinggir. Pertama, memang keberadaan vaksin yang dimaksud belum dapat buru-buru dikeluarkan karena punya risiko. Kedua, atau jangan-jangan memang bawahan dan pembantu-pembantunya Pak Jokowi tidak bisa mengimbangi target dan kecepatan kerjanya sang presiden.
Kalau alasan peertama yang benar, maka bisa dimaklumilah. Tapi, kalau alasannya adalah yang kedua, maka patut dipertanyakanlah. Hehehe.
Hmmm, bicara soal cepet-cepetan bikin jadi keingat sama Pak Jusuf Kalla (JK). Doi kan sangat terkenal dengan tagline “Lebih Cepat Lebih Baik”. Slogan ini jadi senjata kampanyenya di tahun 2009 lalu saat memutuskan untuk maju sebagai calon presiden.
Nah, jangan-jangan, Pak JK berhasil nih “menanamkan” prinsip cepat-cepatan itu ke Pak Jokowi. Jadinya apa-apa pengen diselesaikan secara cepat. Uppps. Sayangnya, yang jadi pembantu di kabinet dan di bawah-bawahnya nggak bisa mengimbangi kecepatan.
Ibaratnya Pak Jokowi ini kayak The Flash alias Barry Allen – superhero yang bisa bergerak sangat cepat. Makanya, doi jadi pengen semuanya dikerjakan dengan cepat. Sayangnya, teman-temannya manusia biasa semua. Jadinya sulit buat ngimbangin.
Hmm, tapi hati-hati juga loh. Soalnya di seri The Flash, yang jadi tokoh antagonis utamanya adalah Eobard Thawne aka Harrison Wells, yang tidak lain adalah orang yang mengajari Barry menjadi manusia cepat.
Wait, berarti maksudnya yang jahat itu adalah si itu, eh siapa maksudnya? Uppps. Hati-hati loh, UU ITE menanti. Hehehe. (S13)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.