[Seri Pemikiran Kishore Mahbubani #11]
Pelibatan militer dalam penanganan Covid-19 kini jadi isu yang mendapatkan perhatian serius. Banyak pihak melihat hal tersebut tak menempatkan masyarakat sebagai subyek dan hanya jadi obyek kebijakan. Bahkan tokoh seperti Rocky Gerung melihatnya sebagai hal yang salah kaprah, tak sesuai dengan “keberadaban” Indonesia, serta bisa mengarah pada fasisme. Ini juga menegaskan posisi politik Jokowi yang “menyerah” pada militer sebagai salah satu sumber kekuatan politik utamanya.
Penanganan Covid-19 di Indonesia memang menjadi hal yang menarik untuk dipergunjingkan. Setelah sebelumnya beberapa media asing menurunkan pemberitaan terkait kemungkinan kasus positif virus yang pertama kali muncul di Wuhan ini telah menyentuh angka 1 juta kasus di Indonesia, kini publik dihebohkan dengan wacana pelibatan militer dalam menegakkan pelaksanaan protokol kesehatan di tengah masyarakat.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Andika Perkasa misalnya, telah ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional mendampingi Menteri BUMN Erick Thohir. Posisinya juga dianggap inheren dengan keterlibatan TNI yang makin besar untuk “memaksa” masyarakat memakai masker dan mematuhi larangan aktivitas dengan jumlah orang banyak.
Namun, kebijakan ini mendatangkan kritik dari banyak pihak. Kritik datang dari Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X yang menyebutkan bahwa kebijakan ini tak menempatkan masyarakat sebagai subyek, melainkan hanya sebagai obyek kebijakan.
Kritik hampir sama juga datang dari pengamat politik Rocky Gerung. Secara menohok dalam salah satu pernyataannya di kanal YouTube miliknya, ia menyebutkan bahwa penggunaan tentara dalam mendisiplinkan masyarakat menggunakan masker misalnya tidaklah tepat dengan kondisi Indonesia sebagai “negara beradab”.
Ia bahkan mengkritik penampilan Presiden Jokowi yang dalam beberapa kesempatan malah terlihat tidak mengenakan masker atau menggunakannya secara kurang tepat. Dengan menggunakan analogi guru dan murid, apa yang dilakukan oleh Jokowi itu malah dianggap tidak merepresentasikan dirinya sebagai seorang guru yang baik.
Secara lebih keras, Rocky juga menyebutkan bahwa penggunaan tentara dalam menghadapi Covid-19 membuat Indonesia terlihat sebagai negara fasis. “Kalau didisiplinkan oleh senjata dan oleh tentara, maka negara ini sudah menjadi negara fasis”, demikian tutur Rocky.
Pernyataan Rocky ini sebetulnya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama bahwasannya benar bahwa ada “keterancaman” kebebasan individu jika tentara dilibatkan terlalu jauh untuk mengatur masyarakat. Hal ini tentu akan menjadi ancaman tersendiri bagi demokrasi yang menempatkan masyarakat sebagai sentral kekuasaan.
Sementara yang kedua adalah terkait konteks pengambilan kebijakan dalam kondisi yang mendesak. Hal ini berhubungan dengan bagaimana seorang pemimpin mengambil kebijakan yang baik dan benar di saat ia tak punya banyak opsi dan bahkan harus mulai mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.
Jika demikian, apa yang bisa dimaknai dari kebijakan pelibatan militer ini?
Jokowi Menyerah Pada Militer?
Hubungan Presiden Jokowi dan TNI memang ada pada tataran saling menguntungkan. Untuk beberapa lama sejak 2014 lalu, mantan Wali Kota Solo itu menikmati kedekatannya dengan militer untuk memperkuat posisi politiknya di hadapan elite-elite nasional.
Konteksnya beralasan karena sekalipun punya sejarah buruk dan pernah dipersepsikan sebagai institusi negara yang identik dengan otoritarianisme di era Orde Baru, nyatanya TNI masih mendapatkan persepsi yang positif di masyarakat.
Dalam survei yang dilakukan oleh CSIS pada 2015 lalu misalnya, kepercayaan publik terhadap TNI adalah yang tertinggi dengan angka 90 persen. Angka ini bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan KPK yang ada di posisi kedua dengan 80 persen.
Survei serupa juga dilakukan pada tahun 2018, di mana Charta Politika menyebutkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap TNI mencapai 73,5 persen dan menjadi yang paling tinggi.
Fenomena ini memang menjadi bukti bahwa citra TNI cukup dominan positif di masyarakat, seiring memburuknya kepercayaan publik terhadap institusi sipil seperti DPR. Artinya, jika Jokowi cenderung dekat dengan TNI dan memberikan porsi kebijakan yang besar pada institusi militer ini, sangat mungkin dampaknya akan positif untuk dirinya sendiri.
Persoalannya adalah ketika citra ini kemudian mendapatkan pertautannya dengan kepentingan politik sosok-sosok yang memanfaatkannya. Pelibatan kembali militer dalam kedudukan-kedudukan sipil memang oleh The Economist disebut punya pertautan dengan kepentingan politik kekuasaan. Dalam konteks tersebut, Presiden Jokowi memang terlihat “memanfaatkan” TNI untuk mengokohkan kekuasaannya sejak awal menjabat hingga saat ini.
Bukan rahasia lagi, sebagai presiden terlemah setelah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur – demikian meminjam kata-kata Jeffrey Winters dari Northwestern University – Jokowi sangat terkungkung oleh posisi Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, pun juga elite-elite lainnya.
Publik tentu ingat status “petugas partai” yang kerap menjadi narasi utama dalam hubungan Jokowi dan Megawati. Untuk menghadapi tekanan dari Ketum PDIP itu, Jokowi memang “bermain cantik”. Ia menikmati kedekatan dengan mantan Panglima TNI Moeldoko – yang kini menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan – di awal-awal masa jabatannya.
Kedekatannya dengan Moeldoko juga membantu Jokowi mengokohkan statusnya sebagai presiden di hadapan oligarki politik yang lain. Hal tersebut terus terjadi di era Gatot Nurmantyo dan Hadi Tjahjanto, masing-masing saat keduanya menjadi Panglima TNI.
Strategi Jokowi ini salah satunya diungkapkan oleh Vedi Hadiz dari Murdoch University, Australia. Menurutnya, Jokowi menggunakan TNI untuk memperkuat posisi politiknya di hadapan lawan-lawannya. Hal ini juga semakin terlihat lewat pelibatan militer dalam program-program pemerintah.
Konteks kekuatan politik dengan menggunakan TNI adalah salah satu cara Jokowi untuk memainkan perimbangan politik.
Namun, dominasi militer ini bisa berdampak buruk jika pada akhirnya hampir semua sendi bidang kehidupan masyarakat kembali dimasuki oleh tentara. Kondisi terakhir ini memang sudah mulai terlihat ketika banyak perwira militer kini menduduki jabatan di BUMN, kementerian, dan lain sebagainya.
Jika terus terjadi, maka bisa dipastikan bahwa terminologi Dwifungsi ABRI yang menjadi primadona dan ciri khas era Soeharto akan kembali bercokol di negeri ini.
Menarik militer kembali ke bidang-bidang lain di kehidupan masyarakat tentu saja menyimpan bahaya. Letjen Purnawirawan Agus Widjojo sebagai salah satu pensiunan TNI yang membantu reformasi militer misalnya, menyebut pelibatan militer ke dalam politik misalnya, berpotensi menggagalkan transisi demokrasi di Indonesia.
Artinya, dalam gambaran yang lebih besar, menguatnya posisi militer dan makin mendominasinya kekuatan TNI ini punya implikasi, utamanya hubungan sipil-militer, serta kepentingan politik dan juga ekonomi.
Persoalannya akan jelas terasa jika pada akhirnya sentral kekuasaan sipil – dalam hal ini Jokowi – melemah, dan militer sudah terlanjur punya tangan kekuasaan di berbagai bidang. Dengan kata lain, memang kondisi ini bisa berdampak negatif terhadap reformasi di tubuh militer itu sendiri.
Dengan demikian, bisa dipastikan kebijakan untuk melibatkan TNI dalam penegakan protokol kesehatan di tengah Covid-19 bisa dianggap sebagai jalan Jokowi untuk menunjukkan kekuatan politiknya. Pada saat yang sama, ini juga bisa menjadi indikator “tak begitu kuatnya” posisi politik Jokowi di hadapan elite-elite nasional dan pemangku kebijakan lainnya, sehingga harus memanfaatkan kedekatannya dengan TNI untuk kebijakan pengendalian bencana kesehatan nasional.
Demokrasi Tak Selalu Cantik
Dalam tulisan yang berjudul What Makes a Great Leader? Mahbubani dan Klaus Schwab mendiskusikan kualitas-kualitas seseorang agar bisa dimasukkan dalam kategori great leader.
Walaupun dibahasakan secara berbeda, variabel yang diberikan oleh Mahbubani dan Schwab sebenarnya kurang lebih ada di wilayah yang sama, yakni dalam 4 hal: heart atau hati, brain atau otak, courage atau keberanian dan soul alias jiwa.
Mahbubani dan Schwab menyebut Presiden Jokowi sebagai contoh pemimpin yang dianggap berani. Konteksnya beralasan karena beberapa kebijakan Jokowi, seperti membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan lain sebagainya.
Dalam konteks kebijakannya melibatkan militer dalam penanganan Covid-19, hal ini juga bisa dianggap berani karena berdiri di tepian realitas hubungan sipil-militer yang untuk beberapa lama punya luka mendalam di masyarakat, terutama akibat era Orde Baru.
Jokowi memang terlihat berani mengambil risiko memasukkan kembali militer ke dalam pembuatan kebijakan karena pilihan tersebut boleh jadi adalah opsi yang paling sesuai untuk menekan laju penyebaran Covid-19. Artinya kebijakan ini diambil karena konteks urgensinya di mana militer dianggap sebagai institusi yang masih dipercaya oleh masyarakat, sekaligus sebagai aktor yang bisa menggunakan alat “paksaan”.
Bagi masyarakat, apa yang diputuskan oleh Jokowi ini memang menunjukkan bahwa demokrasi tak selalu cantik. Pasalnya, setiap kebijakan dalam kondisi yang mendesak akan diambil dengan lebih memperhitungkan efektivitas dan efisiensinya, ketimbang apakah kebijakan tersebut telah memenuhi unsur penghargaan pada kritik serta keterbukaan informasi.
Yang jelas, kritikan dari Rocky Gerung adalah satu sisi mata uang yang tetap harus diperhatikan Presiden Jokowi. Bagaimanapun juga, pelibatan militer punya dampak besar yang bisa dirasakan dalam konteks hubungan sipil-militer, di masa-masa yang akan datang. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.